Saturday, August 2, 2008

Kalau Saya Mati Besok

Kamis siang, ketika sedang terkantuk-kantuk di meja sambil berulangkali melirik jam (berharap cepat-cepat lunch break *deuuuh*), handphone rekan sekantor saya berbunyi. Saya tidak memperhatikan isi pembicaraannya, sampai ia menutup telepon dan ‘mengumumkan’ pada seisi ruangan, bahwa sepupu dari teman kami resmi dinyatakan sebagai salah satu korban pembunuhan Ryan, yang sedang heboh diberitakan dimana-mana.

Berita itu sempat membuat heboh sejenak, sebelum semua orang kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Mendadak kepala saya nyut-nyutan. Sebagian karena udara dingin AC, sebagian lagi karena menyadari betapa ‘dekat’nya saya dengan peristiwa pembunuhan yang sedang ramai dibahas orang se-Indonesia Raya.

Gimana ya, kalau saya mati besok?

Tiba-tiba pertanyaan itu menginterupsi dengan tidak sopan. Halah.

Ah, pikiran nggak guna, tepis saya, lalu kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda sambil terus melirik jam berharap cepat-cepat lunch break. Dodolnya, pertanyaan itu jadi terus berlintasan di otak saya.

Respons pertama saya adalah sebaris doa yang mungkin agak konyol: Tuhan, kalau saya mati besok, dengan cara apa pun, dimana pun, terserah. Tapi tolong jangan dikubur di septic tank!

*Serius, saya beneran berdoa seperti itu.*

Pemikiran kedua: seandainya saya mati besok, seandainya ini hari terakhir saya menghirup udara dunia... apa yang sudah saya lakukan dengan hidup ini?

Mendadak saya teringat dengan sebuah ‘ikrar’ yang pernah saya buat di awal tahun, tepatnya akhir Januari lalu, ketika saya menginjak 24 tahun.

Mengingat 2008 adalah tahun terakhir dimana saya masih bisa mengaku berumur 20-an awal *Hai, Dol ;-D*, saya ingin menjadikan tahun ini bermakna dan mengisinya dengan sejumlah pencapaian. Misalnya, menerbitkan novel (dimana sebelum itu terjadi, tentunya saya harus berhasil MENYELESAIKANNYA dulu. Hehehe). Atau menjadi pekerja sosial di daerah rawan konflik atau pasca-bencana. Atau traveling keliling Indonesia (khususnya Ubud, Papua dan Indonesia bagian Timur – ada yang bersedia membiayai perjalanan saya? Ha! ;-D).

Pokoknya, segala sesuatu yang bisa membuat saya berkata pada diri sendiri: “Nah, gue bisa mengakhiri 20-an awal gue dengan sebuah pencapaian.”

Pencapaian itu penting, Jendral.

Saya selalu berpikir seperti itu. Mungkin karena memang sudah dari sononya manusia memiliki hasrat untuk terus maju dan menghasilkan sesuatu di sepanjang hidupnya. Entah mengejar impian, melakukan sesuatu yang berguna bagi sesama, mengerjakan hal-hal yang dicintai (minimal sesuai preferensi lah, bukannya menjadi buruh kantor yang bekerja nine to five demi mengejar setoran thok – meskipun tentu saja itu bukan sesuatu yang salah), dan banyak lagi.

Saya masih ingat, sehari jelang ulangtahun ke-24, saya duduk di lantai kamar, merenung. Betapa inginnya saya ‘meraih’ sesuatu dalam hidup ini. Betapa inginnya saya mencapai sesuatu, setidaknya sebelum saya resmi dinobatkan sebagai perempuan berumur seperempat abad. Betapa inginnya saya mematri sebentuk rasa puas (atau bangga) di hati ini atas pencapaian apapun yang berhasil saya wujudkan.

Saya adalah seorang pemimpi, sekaligus pengejar mimpi. Betapa inginnya saya melihat mimpi-mimpi yang selama ini saya peluk erat-erat terwujud di depan mata.

Namun, entah kenapa, mendengar berita tewasnya sepupu teman saya dengan begitu menyedihkan mendadak membuat saya berpikir ulang tentang hal-hal yang selama ini saya jadikan ‘prioritas utama’ dalam hidup – yang saya kejar mati-matian dengan segala daya upaya.

-----

Semalam, teman kos saya yang sudah 3 minggu menghilang dari peredaran akhirnya pulang. Beberapa minggu ini ia ditugaskan untuk menunggui asrama sekolah dimana ia mengajar sebagai guru agama.

Penghuni asrama tersebut bukan murid ‘sembarangan’. Mereka adalah anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang bisa bikin minder dan tercatat sebagai anggota Brilliant Class, semacam kelas akselerasi yang kurikulumnya berbeda dengan kelas-kelas biasa di sekolah yang sama.

Anak-anak ini mendapat perlakuan istimewa demi mendukung lancarnya kegiatan belajar mereka, seperti kamar tidur pribadi dengan meja belajar dan AC, laptop dengan fasilitas internet, makanan bergizi tiga kali sehari, asisten rumah tangga, plus ditunggui seorang Ibu Asrama yang siap ‘mengurus’ mereka dan menampung curhat 24 jam (plus menjadi sasaran unek-unek orang tua setiap kali ada murid yang ‘bermasalah’).

Kenapa harus sampai segitunya? Karena anak-anak ini dipersiapkan untuk menjadi juara dalam berbagai turnamen dan olimpiade, di dalam dan di luar negeri. Aset berharga, istilahnya. Dari pagi sampai sore mereka mempelajari pelajaran yang sama (kebayang nggak, belajar Fisika dari jam 7 sampai jam 3?) dan baru tidur di atas jam 12 malam. Kadang, ketika dibangunkan pagi-pagi, mereka ngelindur sambil mengucapkan rumus-rumus Fisika (ini beneran). Ketika pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan, mereka menenteng setumpuk buku untuk mengerjakan tugas dan laporan.

Akhirnya, semua kegiatan ini membuat mereka ‘terisolir’ dari pergaulan di sekolah. Ruang kelas yang terpisah beberapa lantai dari teman-teman seangkatan, klasifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan (Brilliant Class, Regular Class) dan label ‘anak jenius’ yang menempel pada murid-murid ini telah memisahkan mereka dari pergaulan dan membuat mereka menjadi ‘kelompok eksklusif’ yang sulit didekati anak-anak lain. Ketatnya peraturan, terhimpitnya ruang gerak karena kurikulum dan jam belajar, serta minimnya interaksi dengan orang lain lambat laun ‘mencetak’ mereka menjadi sosok yang egosentris. Atau, setidaknya itulah yang diceritakan teman saya – hasil pengamatannya menunggui anak-anak itu selama 3 minggu.

“Mereka anak-anak jenius. Pinter banget, nilai-nilai selalu sempurna, minimal 9, tapi mereka nggak tahu apa itu ‘hidup’ yang sebenarnya. Kadang, kasihan banget lihat mereka seperti itu,” kata teman saya.

Mendengar itu, saya dan seorang teman yang menganut prinsip ‘life-is-beautiful-enjoy-it-while-you-can’ berpandang-pandangan dengan muka aneh.

Bo, nggak tahu ya untuk orang lain, tapi buat kami, cerita-cerita barusan sungguh ‘menakutkan’.

Mungkin saja anak-anak itu menikmati apa yang mereka jalani dan mencintai segala aktivitas mereka. Saya tidak tahu. Yang jelas, masih menurut teman saya, mereka berusaha mati-matian untuk mencetak prestasi. Saking kerasnya belajar, tidak jarang anak-anak itu baru bisa tidur pukul 2 pagi, dan bangun pukul 5 pagi. Mungkin saja itu memang membuat mereka bahagia, dan saya sungguh-sungguh berharap begitu. :-)

Namun, semua itu jadi membuat saya berpikir - mereview sejenak apa saja yang sudah saya lalui selama beberapa tahun terakhir.

Betapa saya berusaha keras mengejar impian. Betapa saya berupaya untuk meraih apa yang disebut pencapaian. Betapa saya rela begadang sampai pagi dan berkutat di depan komputer sampai lupa makan-lupa minum dan masuk angin... semuanya demi meraih apa yang saya cita-citakan. Dan semua itu tidak salah. Semua yang telah saya lalui membentuk saya jadi sosok yang ulet, tidak mudah menyerah dan tahan banting (pernah dengar bahwa penulis adalah profesi yang paling banyak mengalami penolakan dan kegagalan? *wink*).

Tidak ada yang saya sesali. Saya mensyukuri setiap momen yang saya lalui dalam perjalanan ini. Namun, 2 peristiwa yang saya temui kemarin membuat saya berpikir ulang; berapa banyak keindahan dalam hal-hal sederhana yang saya lewati setiap hari, setiap detik, ketika saya berpacu dalam lintasan panjang ini? Berapa sering saya melewatkan kesempatan berharga untuk menghayati kehidupan seutuh-utuhnya? Berapa kali, dalam ketergesaan dan keinginan menggebu untuk mencapai impian, saya melupakan hal-hal kecil yang berarti seperti indahnya langit senja, segarnya aroma tanah, nikmatnya menarik nafas, sejuknya air putih, merdunya tawa kanak-kanak, dan banyak lagi?

Dan seandainya... seandainya saya mati besok, akankah pencapaian yang telah berhasil saya tumpuk selama masa kehidupan ini mempunyai cukup makna – untuk diri saya sendiri, dan orang-orang yang saya tinggalkan?

Akankah saya menengok ke belakang dan berharap seandainya ada lebih banyak matahari senja yang saya nikmati, tawa kanak-kanak yang singgah di indera pendengaran ini, air putih segar yang bisa direguk sepuas hati, dan tarikan nafas panjang yang melegakan?

Akankah saya menilik perjalanan yang telah usai ini dan berharap seandainya saya lebih sering memverbalkan cinta pada orang-orang yang saya sayangi, mengucapkan terima kasih kepada lebih banyak orang, lebih sering menyapa ‘Selamat pagi’ atau ‘Selamat malam’, dan lebih banyak tertawa lepas bersama mereka yang saya kasihi dan menerima saya apa adanya?

Akankah semua itu menjadi kenangan yang lebih berharga untuk saya rengkuh, ketimbang setumpuk pencapaian dan prestasi yang mati-matian saya kejar?

Entahlah.

Mendadak, saya tak terlalu ingin lagi tergesa-gesa membuka laptop untuk secepatnya menyelesaikan draft novel. Mendadak, yang saya inginkan hanya menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya kembali, dan menghayati setiap detiknya sepenuh hati...

Berjalan kaki lebih lambat sambil menikmati udara segar pagi, mendengarkan anak tetangga menangis dan gemercik air dari keran, merasakan dinginnya air yang mengguyur tubuh saat mandi, membeli gorengan di warung untuk sarapan, mengulurkan dua lembar seribuan kepada anak penjaga warung yang selalu tersenyum, menonton kucing berkejaran, bercanda dengan anak-anak kecil, mengucapkan ‘Selamat pagi’ pada tetangga kiri-kanan, menunggu angkot di pinggir jalan sambil memperhatikan keramaian pasar, meneguk air putih segar sepuasnya... tiba-tiba semua terasa begitu berarti.

Mendadak, untuk sebuah alasan yang tak saya ketahui pasti, saya tidak terlalu peduli lagi pada ikrar yang saya ucapkan di awal tahun, ketika saya bertekad akan menjadikan 2008 penuh pencapaian sehingga ‘tahun terakhir bisa menyebut diri berumur 20-an awal’ ini bisa saya lewati dengan rasa puas dan bangga.

Hari ini, awal bulan ke-8 di tahun 2008, kepuasan itu saya temukan pada udara segar pagi, air putih, aroma tanah basah, langit senja, tertawa sesuka hati, dan saling menyapa.

Hari ini, kebahagiaan itu mampu saya maknai dengan menjadi diri sendiri apa adanya, dan menghirup nafas dalam-dalam untuk menghayati sekali lagi anugerah terbesar dari Sang Pencipta: sebentuk rahmat bernama Kehidupan, yang menjadikan setiap detik begitu berharga untuk dijalani dengan ucapan syukur.

Dan itu cukup bagi saya.

1 comment:

rina said...

Thanks Jen, untuk renungannya. Membuat saya berhenti, berpikir sejenak, bisa tersenyum dan berdoa, mengucap syukur karena masih diberi kesempatan menikmati hidup dengan orang2 terkasih dalam hidup kita =)
Life is beautiful =)