“Itu siapa?” Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk teman saya dengan dagunya.
Seorang bapak tua baru saja memasuki ruangan seminar tempat kami menjadi panitia. Seminar tersebut dilangsungkan selama sembilan hari dan diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Selain menjadi seksi sibuk yang merupakan kewajiban setiap orang berlabel panitia, saya juga kebagian tugas mendata dan mengumpulkan foto setiap peserta.
“Nggak mungkin peserta,” saya menjawab pelan, supaya tidak terdengar oleh si bapak yang kini sibuk menata bawaannya di pojok ruangan, tanpa permisi sama sekali, bahkan tanpa memandang kami. Barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya sebuah ransel lusuh dan dua dus berukuran sedang yang tampak kontras dengan karpet tebal dan interior ruang seminar.
Teman saya menghampirinya dan berbasa-basi menanyakan namanya. Setelah menjawab sekenanya, bapak tua itu menarik sebuah kursi yang menganggur di sudut, duduk bersandar di sana, dan tidur.
Hayah.
Saya dan teman-teman panitia cuma bisa berpandang-pandangan.
Tabir misteri itu baru tersingkap ketika si bapak membuka matanya yang memerah dan tersenyum penuh kantuk. Ternyata beliau hanya tidur-tidur ayam (BTW, ada yang bisa menjelaskan kenapa disebut ‘tidur-tidur ayam’? Hehehe).
“Saya mau nengok istri,” jelasnya sederhana. “Dia ikut seminar di sini.”
“Nama istrinya siapa, Pak?”
“Indrawati.”
Saya terdiam. Pandangan saya beralih ke balik pintu kaca, tempat dimana para peserta mengikuti jalannya seminar.
Itu dia. Orang yang dimaksud sedang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Penampilannya sangat sederhana. Rambutnya yang keabuan disanggul, punggungnya sedikit bungkuk dan wajahnya yang berkeriput tampak lelah, namun ia tetap semangat menyimak seminar. Sibuk mendengarkan dan mencatat.
Ibu Indrawati adalah peserta tertua yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Ragu-ragu, saya melirik si kakek.
“Bapak dari mana?” Saya bertanya hati-hati.
“Salatiga,” jawabnya sambil tersenyum, memamerkan gigi-gigi kecoklatan yang sebagian sudah mengeropos, bahkan patah.
“Di Jakarta Bapak tinggal di mana?” Saya penasaran.
“Ada saudara di Kramat,” ia menjawab dengan mata berkaca-kaca, sepertinya masih ngantuk berat. “Tapi saya ndak lama di sini, paling dua hari. Habis itu pulang ke Salatiga.”
“Kangen sama Ibu ya, Pak?” Duh, Bapak, maafkan saya yang terlalu cerewet, tapi sungguh saya tak bisa menahan diri untuk terus bertanya.
Beliau tidak menyahut. Hanya senyumnya yang merekah semakin lebar. Dan binar matanya lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan saya.
Saya meninggalkan beliau dan kembali ke kursi saya (karena ‘kembali ke laptop’ agak mengingatkan pada bapak pelawak berinisial T ;-D). Sambil mengetik, berulang kali saya menengok ke arahnya (bapak tua, bukan bapak pelawak – ini apaan sih? Hahaha!). Menatapi punggungnya. Mengamatinya bersandar di sana dan tertidur pulas. Sekadar melihat tanpa bersuara.
Jam makan siang tiba. Para peserta berhamburan keluar, berebut menyerbu tumpukan kotak styrofoam putih yang berisi makanan dengan ganas. *Ehm, nggak usah dibayangin, hiperbola. ;-)*
Bapak tua itu tak ikut beranjak, agaknya maklum bahwa ia tak mendapat jatah karena bukan peserta. Namun matanya mencari-cari.
Sosok yang ditunggunya keluar tak lama kemudian. Mereka saling merangkul. Di depan orang-orang yang lalu-lalang. Dengan ransel lusuh dan dus-dus Aqua diikat tali rafia yang kontras dengan karpet tebal dan interior ruangan.
Untuk sejenak, ruangan itu hanya milik mereka berdua. Dan tak ada lagi yang nampak kontras di sana.
Ijinkan saya punya cinta seperti itu jika saya tua nanti, saya membatin, entah pada siapa.
Cinta yang tak lekang oleh wajah keriput, rambut beruban, gigi keropos, ransel lusuh dan pakaian seadanya. Cinta laksana embun pagi, sinar mentari, dan semilir angin yang selalu ada setiap hari. Sederhana, dan senantiasa baru.
-----
Dalam perjalanan pulang, saya duduk di angkot dan tak henti-hentinya berpikir. Bukan tentang bapak tua dan istrinya. Belakangan ini otak saya dipenuhi begitu banyak persoalan, yang kalau dipikir-pikir lagi, kebanyakan sampahnya daripada pentingnya. Namun sampah-sampah itu tak sudi pergi meski saya sudah berusaha keras. Semakin ditepis, semakin awet bercokol.
*Oh, well, what you resist persists, right? ;-)
Lelah. Jengkel. Muak.
Khawatir. Risau. Gelisah. Tak menentu.
Jalanan macet. Udara gerah. Penumpang berjejalan. Keringat bertetesan.
Hidup saya sebulan terakhir. Rollercoaster tanpa ujung. Tanpa operator, tanpa karcis, tanpa durasi, dan saya tak bisa berteriak minta berhenti meski sudah penat meluncur naik-turun.
Saya duduk bertopang dagu, menghela nafas dalam-dalam.
Angkot berhenti di pinggir jalan. Seorang ibu yang sedang menggendong anak berjalan mendekat. Spontan saya menggeser tubuh, merapatkan diri ke sudut. Tempat yang tersisa hanya cukup untuk satu orang. Si ibu harus memangku anaknya selama perjalanan.
Pintu angkot yang terlalu rendah membuatnya terpaksa mengeluarkan upaya ekstra untuk bisa masuk dan duduk di samping saya. Seketika pandangan seluruh penumpang tertuju pada sosok sederhana berbalut jarit itu.
Bocah yang digendongnya menderita hydrocephalus.
Tidak ada penumpang yang bersuara tatkala si ibu membetulkan posisi duduk anaknya agar nyaman dipangku dan meluruskan letak kain jarit di sekeliling tubuh si bocah, melindunginya dari hembusan angin.
Si bocah mengeluarkan suara-suara aneh. Baru saya sadar, bibirnya tak mampu mengatup. Kedua mata dan mulutnya tertarik sedemikian rupa hingga terus mendelik dan menganga.
“Haaaa... aaaaaa... haa.”
Sang ibu tertawa pelan mendengar bahasa yang hanya dipahami mereka berdua. Ia mengangguk-angguk, senyumnya lepas tanpa beban. Ia merogoh tas, mengeluarkan dot dan memasukkannya ke mulut si bocah.
“Umurnya berapa, Bu?” seorang penumpang menyela aktivitas kecil itu.
“Lima,” sang ibu menjawab ramah. Tak disangka, bocah di pelukannya ikut tersenyum. Seolah mengerti apa yang sedang diobrolkan dan menganggapnya lucu.
“Haaaa... aaaaa... aaaa.”
Senyum itu terus merekah dari mulut yang tak mampu mengatup dan disumpal dot bayi. Bahkan sepasang mata yang mendelik itu ikut tersenyum. Kepala yang terayun lemah dalam gendongan sang ibu tak sanggup menahannya untuk membagi kegembiraan pada seluruh penumpang angkot yang kini menontoni mereka.
Sang ibu mengayun anaknya perlahan. Menyambut senyumnya dengan mata berbinar, seolah ingin berkata sederhana, “Aku sayang kamu, apa adanya.”
Mata saya membasah.
Mendadak, seluruh jaringan kusut di otak saya kehilangan maknanya.
Mendadak, apa yang saya sebut beban dan masalah seperti mengambang begitu saja, menyisakan ruang hening, dan saya terhanyut di sana.
Mendadak, saya tak peduli lagi pada rollercoaster yang masih terus meluncur naik-turun, dengan saya di dalamnya. Tak ingin berteriak minta berhenti.
Jenis cinta apa yang kau punya, Ibu?
Aku ingin sekali memilikinya.
Cinta itu tak terbeli, dan tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, si anak telah mendapatkannya. Lunas.
Mendadak, saya hanya ingin punya cinta.
secarik kenangan yang tersisa, agustus 2008