Friday, February 20, 2009

Oase

Senja pukul lima. Baru kembali dari rumah seorang sahabat setelah menginap selama tiga hari.

Begitu sampai di kos-kosan, hal pertama yang saya lakukan adalah mengosongkan tas berisi pakaian kotor, menumpuknya dalam ember, dan mengangkutnya ke kamar mandi.

Suara air mengucur selalu menyenangkan. Sama menyenangkannya seperti mengisi ember hingga ke tepinya -tak sampai penuh- lalu mengaduknya dengan tangan. Memastikan deterjen yang sudah masuk duluan tercampur rata.

Saya kembali ke kamar. Mata dan badan sudah teriak-teriak minta tidur, tapi otak memprotes. Belum waktunya, katanya. Kalau tidur sekarang, nanti malam begadang lagi. Lebih baik sekalian. Ditahan sedikit rasanya masih bisa.

Saya menyeret kaki ke warteg langganan. Setelah kenyang, saya melangkah ke warnet.

Satu jam berselancar di dunia maya, saya merasa cukup. Menyeret kaki lagi untuk pulang, tapi kali ini dengan senyuman, karena pemilik warnet memberi diskon lumayan. Gara-garanya, waktu sedang asyik men-download file, komputer saya macet dan terpaksa di-restart. Hitung-hitung kompensasi dari waktu yang terbuang, sekaligus alasan bagi saya untuk jadi pelanggan tetap warnet yahud itu.

Sampai di kos-kosan, kamar mandi adalah tujuan pertama. Waktunya mencuci. Saya meraih selembar pakaian basah dan mulai mengucek.

Buat saya, selain berjalan kaki ratusan meter, mencuci adalah sarana melepas stres paling canggih. Jadwal mencuci saya dua kali seminggu. Tiga kali, kalau sedang rajin. Kalau sedang banyak pikiran, jatah dua kali saya hajar dalam sehari. Dan percayalah, hasilnya bisa dijamin. Pasti bersih. Karena energi selalu hadir berlipat ganda jika hati sedang mangkel.

;-)

Saya menarik sehelai pakaian, lalu tersenyum kecut. Ada garis merah di sana. Pasti akibat lalai memisahkan baju-baju berwarna cerah. Hal yang sama baru terjadi minggu sebelumnya. Pakaian putih saya kini berwarna-warni dengan semburat yang tak merata.

Saya mengucek lebih keras. Dua kali. Tiga kali. Percuma, sudah terlanjur.

Saya mengembalikannya ke ember, untuk melanjutkan mencuci yang lain. Sambil menontonnya tenggelam perlahan di air sabun, saya berkhayal.

Seandainya hidup bisa sesederhana mencuci baju. Rendam, kucek, bilas, jemur, setrika. Semua kotoran dan kekusutan langsung lenyap tak berbekas. Kalau ada yang luntur atau tak bisa dibersihkan, toh itu cuma baju. Yang bisa dicemplungkan kembali ke ember untuk tenggelam perlahan di air sabun, atau dijadikan kain lap sekalian. Beres sudah.

Padahal, baru kemarin saya berandai-andai. Seandainya hidup bisa semudah duduk di ayunan. Dengan kaki terjulur menginjak tanah. Lamat-lamat mencerna hening. Membiarkan waktu berlalu dalam gerakan maju-mundur. Menyaksikannya lenyap ditelan senyap. Tak perlu berupaya, karena di sini makna tak lagi penting. Hanya duduk diam. Berayun.

Hidup bagaikan padang pasir, kata sahabat saya.

Dan kita adalah kafilah-kafilahnya, saya menambahkan. Saat itu pukul sebelas siang. Kami berkendara berdua, menantang terik ditemani CD kompilasi dan hembusan sejuk pendingin udara. Saya memandang keluar jendela, memperhatikan warna hijau, coklat dan abu-abu yang berkejaran.

Kendati panas menyengat dan duduk saya mulai tak nyaman karena kedua kaki terpanggang matahari, saya tahu, dalam sekian menit kami akan mencapai tempat tujuan. Rumah mungil nan nyaman dengan sofa coklat muda yang bisa ditiduri sambil nonton TV. Bantal-bantal empuk yang bisa dijadikan pengganjal kepala sambil menunggu makan siang. Air putih dingin di gelas plastik yang bisa direguk sepuas hati.

Saya tersenyum. Tak menyayangkan hidup yang tak bisa sesederhana menempuh perjalanan dengan mobil, dimana saya tahu pasti kapan akan berhenti, kapan akan sampai, dan akan turun dimana. Tidak ada yang perlu disayangkan. Tidak ada yang perlu disesali. Tidak ada yang perlu diubah. Perjalanan ini, detik ini, tempat dimana kedua kaki ini berpijak, adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya, dan saya mensyukurinya sepenuh hati. Saya tak perlu tahu kemana ia akan membawa saya. Saya tak ingin tahu.

Dalam perjalanan ini, selalu ada oase yang bisa dijadikan persinggahan untuk melepas dahaga dan membuang penat. Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan. Ketika jiwa ini bercumbu dan berpadu dalam sunyi tanpa tepi. Ketika lapisan demi lapisan diri terkikis dan yang tersisa hanya kesejatian. Ketika melodi yang digaungkan dawai hati bersambut dengan kidung alam semesta.

Keindahan itu tak terperi, dan jiwa saya selalu mereguknya dengan rakus. Seperti musafir sekarat yang menemukan air. Seperti ikan yang megap-megap kehabisan nafas, lalu diceburkan ke kolam raksasa. Sensasinya sungguh juara.

Setelah dahaga tuntas, kita kembali melangkah. Menyusuri perjalanan panjang yang belum selesai ini. Entah sendiri, entah berdua. Entah berkawan sepi, entah berdampingan dengan rekan sejiwa. Mengumpulkan serpih demi serpih surat kontrak yang kita tandatangani sebelum lahir ke dunia dan mengerti apa itu takdir. Terus melangkah, karena perjalanan ini takkan usai bila belum tiba waktunya.

Jika hidup adalah padang pasir, maka kitalah kafilahnya. Pada suatu masa kita akan singgah. Di sebuah oase. Untuk minum dan beristirahat sejenak, sebelum kembali menapak.

Beberapa orang menyebutnya agama. Sebagian lagi menyebutnya pengalaman spiritual. Liburan bagi jiwa yang penat. Penawar bagi hati yang haus. Saya lebih suka menyebutnya Keheningan.

Hari ini, keheningan itu ada dalam percikan air, cipratan busa sabun dan pakaian kotor tiga hari.

.....

Saya berdiri. Meluruskan punggung yang mulai pegal. Menepuk-nepuk celana pendek yang sudah basah separuh. Menyiram lengan yang tertutup busa sampai ke siku. Membuang air bilasan terakhir. Memeras pakaian dan menaruhnya di ember. Tak ada lagi yang perlu dikucek. Tak ada lagi yang harus dibilas.

Sesi istirahat di oase hari ini sudah selesai. Saatnya kembali berjalan.

Senyum saya mengembang. Membisikkan sepenggal harap dari lubuk terdalam. Tak muluk, sederhana saja:

semoga cucian saya bisa cepat kering.


*Gambar tentunya dipinjam dari gettyimages.com

16 comments:

Anonymous said...

akhirnya aku menjadi org pertama yg comment di blok mu stelah sekian byk mmbaca tulisan2mu.mungkin benar seandenya hidup sesimpel sperti mncuci baju(RKBJS),betapa nikmatnya hidup tnpa ada kotoran2 itu.skr ini mungkin aku adlah sosok baju yg ingin di cuci tp knyataannya tdk bs krn sdh luntur,mau g mau aku hrs menerimanya.thanks oasenya yg agk dalem

Anonymous said...

baju itu nunggu empunya buat dicuci..,kalo cuman direndam aja malah tambah bikin dia luntur ato tambah rusak... jadi kembali ke empunya,mau dicuci apa ndak... :D

Anonymous said...

*ini kenapa jadi ngebahas cuci baju? ;-D*

Enggar: i want to say great words, tapi untuk saat ini gw cuma bisa bilang: gw doain yang terbaik buat lo ya bu.. semua ini bakal lewat pada waktunya, dan semoga lo diberi kemudahan dan kekuatan untuk menjalaninya. :-)

Langit Amaravati said...

mencuci baju bagi saya malah saat berkhayal, seandainya punya mesin cuci sendiri. HIhihi

Anonymous said...

jenny honey....memang enak ya kalo hidup bisa seperti baju kotor, yang hanya tinggal kita cuci saja dan seketika bisa menjadi bersih lagi...tapi sometimes kita tidak bisa menghilangkan noda membandel yang melekat di blus putih favorit kita... Itu yang agak repot ya.... bete bgt..mudaha2an sih dapat pemutih yang canggih....:)

Anonymous said...

Skylashtar: yeeep, itu juga sering jadi khayalan saya! *kalo bisa sekalian sama asistennya* hehehe.

Alma: kalau udah gitu, mau nggak mau memang cuma bisa nrimo, pasrah, meski sambil ngedumel. hehe. by the way, tebak-tebak buah manggis, ini mbak alma yang di 'arisan rabu' bukan ya? :-)

Galuh Riyadi said...

Jeeennn.... Gw ngga bisa nyucii... Pake mesin sekalipun... Hahahaha... Kalo nyuci mobil, sih jagoo... (tuntutan keadaan soalnya) hehe
2 minggu lagi menuju JJF... bersiaaap!!

Anonymous said...

Siaaaaaappp! ASEK! ;-D

Anonymous said...

emang kemana?

ndha said...

Jen.... baca "oase" mu bikin saya senyum sendiri karena menemukan seseorang yang seide. Selama ini orang menganggap nyuci itu kerjaan yang "maha berat" tapi bagi saya itu adalah oase seperti kamu.
Tapi saya masih menemukan satu oase lagi karena pada senin pagi saya akan melihat "dua bintang kecil" saya melangkah gagah dengan baju bersih rapi dan wangi...
Aaahhhh.... kepuasan yang tak bisa dibayar dengan apapun...

Salam kenal... semoga kita nemu oase-oase yang lain ya...

Anonymous said...

Aaaaww.. so sweet! :-)

Salam hangat buat dua bintang kecil itu ya.. dan salam kenal juga buat Ndha.

Anonymous said...

iya nih serasa jadi baju yang sudah lusuh dan kumal, perlu detergen super kuat utk menghilangkan noda dan kotorannya

Anonymous said...

sering membaca tulisan mbak jenny di SK, baru kali ini singgah ke blognya setelah membaca tulisan ini, juga di SK. pengen belajar dengan 'gaya lincahnya' menulis

Anonymous said...

kita harus terus berjalan. karena berhenti bukanlah pilihan.
kalo ga ketemu oase-nya ya ciptakanlah oase itu. hehe..

Anonymous said...

ingafety: selamat datang, thanks sudah mampir kemari!

ezra: harus terus berjalan, saya setuju. Tapi saya juga percaya kita selalu punya pilihan, entah itu untuk berjalan, atau berhenti. :-)

Anonymous said...

hehe.. hmmm.. berhenti sejenak bwt istirahat krn jalan tdk selalu bersahabat boleh juga. sekalian lihat peta lagi, apakah ini benar jalan yg hrs ditempuh