Bagaimana kamu mempercayai penerimaanNya yang tak bersyarat, jika kamu diajar bahwa Tuhan yang menyayangimu juga menghukum mereka yang menolakNya dengan api?
Bagaimana kamu menyembahNya dengan tulus murni, jika kamu percaya bahwa tempat bernama Surga itu diciptakan hanya untuk mereka yang lulus seleksi?
Bagaimana kamu bisa memastikan yang berpijar di dadamu itu cinta, bukan takut dan harap berjubah cinta?
Bagaimana kamu berkata semua makhluk sama di hadapanNya, sementara kamu bersikukuh dirimu yang paling benar?
Bagaimana kamu berkata Tuhan ada dimana-mana, sedang kamu membalikkan punggung kepada mereka yang berbeda?
Bagaimana kamu berkata Tuhan menganugerahimu kehendak bebas, sementara kamu dibekali sederet aturan dan larangan yang jika dilanggar berujung pada siksa?
Bagaimana kamu berkata cintaNya tidak membedakan, sementara kamu percaya Tuhan yang tak memandang rupa itu juga melarang 'terang' dan 'gelap' bersatu?
Jika kamu berkata kamu mengenal Dia, coba beritahu saya sekarang: siapa itu Tuhan?
...
..
.
?
Dan kamu bertanya, mengapa saya tidak ingin menjeratNya dalam sebuah kotak.
*Sebelum ada yang
12 comments:
Siapa Tuhan?
Mengapa pertanyaan itu muncul?
Apa harus mempertanyakan siapa itu Tuhan?
Orang Jawa kuno mengatakan, "Tan kena kinowo nopo".
Ada sesuatu yg tidak bisa di apa siapakan.
Itukah maksudmu?
bagi saya tuhan itu seperti kanjeng ratu kidul. yg penting bukanlah apakah ia ada secara objektif, namun apakah ia bermakna
verifikasi : gousiv
ibu-ibu sukanya nge-gousiv
Hubungan seseorang dengan dia itu personal. Jadi, tuhan itu, ya gimana nyamannya seseorang mempersepsikannya aje. Mo sahabat kek, mo temen kek, mo pacar kek, mo bos kek.
Kalo terbiasa berpikir dengan pola pikir kolektif/dogmatis, pertanyaan-pertanyaan kayak gini ga bakal ada habisnya.
Jadi inget, ponakan gw pernah nanya 'tuhan itu cowok apa cewek?' dan 'tuhan itu agamanya apa?' hehehe.
kata verifikasi : gateser.
gateser dikit dong, sempit nih!
Nggak, nggak ngatain sesat. Ngatain naif boleh? HAHAHAHA...
Gw pernah mengajukan pertanyaan yang sama bertahun2 lalu. Dan melalui proses yang panjang, gw akhirnya meyakini yang berikut:
Pertanyaan 1 - 3 dan 7:
Pada prinsipnya sama dengan pertanyaan anak kecil, "Apakah ibuku sayang padaku? Kalau dia benar sayang padaku, kenapa dia menyentil tanganku ketika aku memukul pengasuhku?"
Pertanyaan 4:
Pada akhir pencarian gw, gw menyadari bahwa kalau gw masih menanyakan pertanyaan ini, berarti gw masih berada di tahap rasio. Dan sampai kapan pun rasio (murni) tidak akan pernah mampu memahami.
Pertanyaan 5 - 6:
Lha, itu sih masalah loe, bukan masalah Tuhan... HAHAHAHA... Yang bersikukuh paling benar kan loe, bukan Dia yang mengatakan loe paling benar. Yang membalikkan punggung kan loe, bukan Tuhan. Emang loe Tuhan ;)?
Pertanyaan 8:
Pada prinsipnya sama dengan pertanyaan anak kecil lainnya, "Ibu curang! Katanya sama semua anaknya sayang! Kenapa aku nggak boleh pacaran sama kakakku?" ;)
Diberikannya sebuah izin tidak dapat dijadikan bukti "cinta yang tak membedakan". Karena sebuah izin diberikan/tidak tergantung pada pertimbangan akan akibatnya. Bukan didasarkan pada cinta :)
;)
sip jen,jangan menempatkan diri kita terlalu tinggi.berbeda bukan berarti jelek tho...sekarang kita bersaudara,diluar ruangan elo-elo gua-gua..basi dah...
Keren..keren...
Tulisan anda benar-benar menarik untuk dibaca.
Kapan-kapan main kesini lagi ah..
Boleh tukeran link dong?
NICE! aku heran... kok bisa ya, banyak orang yang sampai pada kesimpulan yang sama....
Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan memberi komentar di sini dan di Facebook, juga mengirim e-mail secara pribadi. Sejujurnya, meski terdengar menjurus murtad dan naif (bahkan ‘keluar jalur’, aneh, dan sebagainya), pertanyaan2 yang saya tuliskan di sini hanya bertujuan untuk ‘mengajak’ kita semua menengok ke dalam diri masing2 – menelaah sejenak apa saja yang tersimpan dalam gudang hati kita, yang di atasnya tertulis nama Tuhan. Termasuk segala konsep yang berkaitan denganNya, respon hati yang muncul ketika pertanyaan itu diutarakan, dan barangkali, rasa takut, harap, serta cinta yang selama ini berbaur tanpa pernah kita sadari.
Dari tulisan ini, saya menuai hasil yang cukup beragam. Ada yang merasa kecewa, ada yang bertanya balik, ada yang mengilustrasikan Tuhan sebagai orang tua bijaksana, ada yang bilang saya latah, ada yang 'menghimbau' saya agar kembali ke jalan yang benar, ada pula yang setuju. Semua, bagi saya, adalah pendapat yang sama sahnya, sama nilainya.
Saya setuju bahwa hubungan setiap manusia dengan Tuhan amatlah personal, dan pertanyaan yang bersifat kolektif tidak akan menghasilkan jawaban yang serupa. Dan sebenarnya tujuan saya mem-posting tulisan ini memang bukan untuk mendapatkan sebuah jawaban yang bisa dijadikan definisi sah tentang Tuhan. Saya bahkan tidak tahu apakah pertanyaan2 yang saya ajukan di sini pernah terlintas juga di pikiran Anda.
Pengalaman, pengenalan, bahkan pengetahuan tentang Tuhan, (menurut saya) adalah sesuatu yang seharusnya bersifat otentik, dan tidak ada satu pun jawaban yang dapat digunakan untuk ‘merumuskan’ Tuhan. Saya percaya, ‘rumusan’ tentang Tuhan yang dimiliki oleh seseorang (yang muncul dari pengalamannya secara pribadi) hanya berlaku bagi orang yang bersangkutan, tidak untuk semua orang. Bagi sebagian orang, Tuhan adalah Sahabat. Yang lain mungkin berkata Tuhan adalah Kekasih Jiwa. Sebagian lain bisa berkata Tuhan adalah Orang Tua yang memberi yang terbaik bagi anak-anak-Nya. Semua benar. Semua sah. Namun, kebenaran yang berlaku bagi seseorang belum tentu berlaku juga bagi yang lain.
Pada akhirnya, jika saya ditanya kembali, “Kalau begitu, menurut kamu apa seharusnya jawaban ideal bagi pertanyaan tersebut? Siapa itu Tuhan?”, saya akan berkata: tidak ada jawaban ideal. Dan barangkali, memang tidak perlu ada jawaban sama sekali. Itu juga yang saya maksudkan dengan "Tidak ingin menjeratNya dalam sebuah kotak."
Bagi saya, setidaknya untuk saat ini, menyadari apa yang tersimpan di ruang hati kita masing-masing sudah cukup.
May all beings be happy. :-)
dan saya disini cuman mau bilang, buah nyeleneh saya baru mateng 1
verifikasi: gretood
:))
Yeap, udah baca! Ditunggu buah-buah lainnya. ;-D
*tukangcariribut*
Dear my-katrine,
Bagi saya, bertanya justru sangat jauh dari kebodohan. Saya tidak tahu apakah bagi Anda pertanyaan identik dengan simbol kebodohan, atau kepura-pura-bodoh-an, tapi untuk saya pribadi, bertanya adalah salah satu cara yang paling realistis (dan nggak dilarang) untuk menjalani hidup. Yang nggak realistis adalah oranng yang merasa sudah tahu segalanya, lantas menuduh orang lain bodoh.
Just my two cents. :-)
Post a Comment