Tinggal beramai-ramai di kos-kosan selalu memberi kejutan dan tantangan tersendiri untuk saya, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang berisi delapan kamar ini – setahun yang lalu. Saya belajar, meski menyenangkan dan seperti memiliki keluarga baru, tinggal bersama di bawah satu atap bukanlah hal yang mudah. Seringkali dibutuhkan usus yang panjang, berton-ton toleransi, bergalon-galon kesabaran, dan banyak lagi.
Saya yang menyukai keheningan, misalnya, harus rela jika suatu pagi terbangun dengan kaget karena suara keras tetangga sebelah, atau bunyi air dari keran yang diputar sampai pol. Saya yang membutuhkan suasana tenang untuk bekerja kadang harus merelakan pekerjaan saya tertunda akibat suara-suara berisik yang tidak bisa ditolerir telinga dan otak. Saya yang terbiasa mandi tanpa menggunakan alas kaki terpaksa ikut bersandal-jepit ria ketika mengetahui teman-teman saya menggunakan sandal di kamar mandi (nggak apa-apa juga kalau saya ingin tetap bertelanjang kaki, tapi kan jijik membayangkan lantainya?). Saya juga belajar membiasakan diri ketika tubuh yang sedang sakit tidak bisa mendapatkan istirahat secara optimal karena teman-teman serumah sibuk dengan aktivitas dan obrolan masing-masing.
Itu hal-hal sederhana yang membutuhkan adaptasi secara personal. Ada pula hal-hal lain yang meminta perhatian lebih, di luar yang biasa terjadi setiap hari. Salah satunya jika ada kawan yang sedang bermasalah dan butuh teman curhat. Tidak jarang, kegiatan sesederhana berjalan kaki ke warung menjadi ajang bagi-rasa yang memerlukan kesiapan telinga dan hati. Waktu istirahat di malam hari pun bisa menjelma menjadi ajang curhat massal. Memang tidak selalu hal seperti ini terjadi, banyak juga malam-malam ceria nan hedon dimana kami berfoya-foya menghamburkan tawa, lelucon dan cerita-cerita konyol, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, atau sekadar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama. Namun, ketika sesuatu yang serius terjadi pada salah satu di antara kami, diperlukan perhatian dan ‘penanganan’ yang lebih dari sekadar bercanda, tertawa, dan berkumpul. Di sinilah saya banyak belajar.
Sungguh, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Di awal perintisan karir untuk menjadi pendengar profesional *halah*, saya menemukan begitu banyak kendala. Mulai dari menahan lidah untuk tidak berkomentar, menunda opini, menjaga perhatian tetap tertuju pada lawan bicara (apalagi jika kisah yang sama sudah diulang puluhan kali), menyediakan diri untuk ‘hadir’ sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan (karena keberadaan tak selalu sama dengan kehadiran – kita bisa bersama seseorang tanpa sepenuhnya hadir, dan sebaliknya, kita bisa hadir baginya tanpa perlu bersamanya), sampai mendengarkan tanpa merumuskan penilaian apa pun.
Awalnya, saya pikir saya bisa menjalaninya dengan mudah. Mendengarkan orang lain adalah salah satu keahlian saya sejak jaman baheula; saya sudah terbiasa menghadapi orang yang ujug-ujug datang untuk curhat. Mulai dari sahabat, saudara, kerabat, orang tua, orang asing, kawan baru, sampai asisten rumah tangga teman saya.
Mendengarkan memang bukan sesuatu yang sulit. Namun mendengarkan tanpa menilai –sekadar hadir sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan— yang menjadi salah satu kriteria dari Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.
Setelah beberapa kali mencoba mengaplikasikan Nonviolent Communication dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari sesuatu: kemampuan saya mendengarkan selama ini nyaris tidak ada gunanya. Cara saya menyampaikan perasaan dan kebutuhan pun masih terseret-seret, padahal saya menyangka telah cukup gape dalam bercuap-cuap karena terbiasa menangani klien. Saya mengira dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik dengan ‘jam terbang’ yang tinggi, namun nyatanya, cara saya berkomunikasi tetap butut. Berkomunikasi tanpa kekerasan itu nggak gampang, Jendral.
Sudah beberapa bulan saya mencoba mempraktekkan jenis komunikasi ini (mendengarkan dan menyampaikan isi hati tanpa kekerasan), dan kemampuan saya masih setara dengan anak balita yang sedang belajar jalan. Tertatih-tatih dan berulang kali terjerembab. Di awal masa belajar, saya bahkan sempat menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil dan ngomel-ngomel berat kepada seorang sahabat yang pertama kali memperkenalkan pola komunikasi ini. Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan adalah karena saya tersentuh oleh tindakan sahabat saya yang kerap bertanya, “Ingin didengarkan saja, atau ingin diberi saran?” ketika saya menghubunginya untuk curhat.
Buat saya, itu keren. Sumpah.
Dialah orang pertama yang menanyakan hal seperti itu sepanjang sejarah percurhatan saya. Dia menyediakan telinganya untuk saya sampahi, dan pada saat yang sama memberikan saya ruang untuk memilih; apakah saya ingin mendengar opininya atau tidak. Saya selalu takjub dengan kemampuannya untuk tetap menjadi netral setelah sesi curhat panjang nan membosankan dengan masalah yang berkali-kali saya ulang seperti kaset rusak. Dia tidak ikut-ikutan marah dan menyumpahi orang yang saya kutuki, tidak terburu-buru mengungkapkan pendapat, dan tidak pernah menjatuhkan penilaian –apalagi penghakiman— atas kelebihan stok airmata yang dengan semena-mena saya tumpahkan kepadanya.
Hal-hal tersebut membuat saya bertahan. Bukan karena saya ingin mengikuti jejaknya, melainkan karena saya telah merasakan manfaat dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. Saya tahu rasanya tidak didengarkan, karena itu, kini saya ingin mendengarkan. Saya ingin mendengarkan, karena saya telah didengarkan. Sesederhana itu.
Bukan sekali-dua saya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam sesi curhat-ke-teman-dekat. Setelah berkali-kali menceritakan isi hati kepada beberapa orang yang cukup karib, saya mendapati, sebagai komunikator, ada kalanya saya hanya ingin didengar. Mungkin ini terdengar tidak adil bagi orang yang saya curhati karena terkesan ‘egois’, ‘ingin nyampah doang’, ‘nggak mau diberi input balik’, dan sebagainya. Seandainya saja saya bisa bilang kepada semua orang yang pernah menjadi tong sampah saya: saya senang dengan saran, masukan dan komentar kalian. Seandainya saya bisa berkata seperti itu. Kenyataannya, tidak. Bahkan, berkali-kali setelah mendengarkan masukan dan saran dari orang yang saya curhati, saya merasa menyesal sudah bercerita. Bukan karena saya tidak suka dengan isi sarannya, namun karena bukan itu yang saya butuhkan.
Saya menghargai setiap masukan, saran, komentar, koreksi, dan apa pun yang diberikan orang kepada saya, dan saya berterimakasih atas perhatian dan waktu yang mereka luangkan, namun ada kalanya saya hanya butuh didengarkan. Ada kalanya saya tidak butuh opini atau solusi. Saya hanya memerlukan telinga yang bisa menampung unek-unek saya, dan barangkali, bahu untuk ditangisi.
Itu sebabnya, kini saya sangat membatasi diri untuk mencurahkan isi hati kepada orang lain. Sangat sedikit orang yang saya percayai untuk menampung sampah-sampah batin saya. Bukan karena saya tidak menghargai predikat ‘saudara’, ‘sahabat’, atau ‘kawan baik’ di belakang nama begitu banyak orang yang cukup akrab dengan saya, melainkan karena saya membutuhkan orang yang bisa mendengarkan.
Jika saya memerlukan saran, saya akan mendatangi orang yang bisa dimintai saran. Jika saya memerlukan pendapat, saya akan menemui orang yang kompeten untuk memberi pendapat. Tapi hanya orang-orang tertentu yang saya percayai untuk mendengarkan. Seringkali, mereka tidak memiliki petuah berharga atau wejangan bijak untuk disampaikan, namun telinga dan hati mereka telah menolong saya menemukan jawaban dan solusi jauh melampaui yang dapat diutarakan bahasa. Kepada merekalah saya berhutang begitu banyak terima kasih.
:-)
Saya percaya, kita terlahir di dunia sebagai bayi yang tidak mengenal baik-buruk benar-salah. Pengkondisianlah yang memperkenalkan kepada kita apa itu hitam, apa itu putih. Apa itu baik, apa itu buruk. Dalam proses pendewasaan, kita diajar bahwa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan seutuhnya bukanlah sesuatu yang baik. Beberapa dari kita bahkan telah begitu terbiasa menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Tanpa disadari, perasaan dan kebutuhan yang tidak pernah diijinkan berekspresi itu menjelma menjadi penilaian dan penghakiman yang kita jatuhkan pada orang lain – entah melalui tutur kata, tindakan, maupun pemikiran.
Penilaian dan penghakiman tersebut akan memancing reaksi serupa dari orang-orang yang menerimanya dan memulai siklus yang terus berulang dalam hidup kita. Lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Kita terus berputar di dalamnya, menjalani siklus yang sama sepanjang hayat, dan menyangka telah turut berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kita mengira, dengan menempatkan perasaan dan kebutuhan di urutan kesekian, kita telah memberikan sumbangsih untuk terciptanya kerukunan dan persatuan.
Bagi saya, perdamaian dunia tidak ditandai dengan berakhirnya peperangan. Perdamaian dunia tidak diawali dengan gencatan senjata dari kubu-kubu yang bertikai. Perdamaian dunia dapat dimulai dari diri kita sendiri, dengan menghentikan siklus kekerasan yang selama ini memerangkap kita dan begitu banyak orang yang terhubung dengan kita. Cara menghentikan siklus itu adalah dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan yang kita miliki. Cara memutuskan lingkaran setan itu adalah dengan berhenti menjatuhkan penilaian dan mulai berdiam diri. Sekadar bernafas dan memperhatikan bisa jadi hadiah paling berharga yang bisa kita berikan bagi seseorang. Sekadar hadir dan mendengarkan bisa menjadi sumbangan terbesar kita untuk terciptanya kerukunan dan persatuan yang bukan cuma slogan. Pertanyaannya, bersediakah kita?
Mungkin kedengarannya berlebihan, namun saat ini, rasanya saya akan lebih memilih duduk bersama orang-orang sederhana yang bersedia menyediakan hati dan telinga untuk semata hadir dan mendengarkan, daripada mereka yang kemampuan berpikirnya menyaingi kecepatan cahaya, sanggup merangkai sejuta makna dan merangkumnya dalam kalimat-kalimat bijak, serta sigap memberi berbagai petuah dan masukan tanpa diminta.
Kita sudah kelebihan stok orang pintar dan orang bijaksana. Kita butuh lebih banyak pendengar yang baik.
*Informasi selengkapnya mengenai Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dapat disimak di sini.
**Gambar dipinjam dari gettyimages.com, dengan pemotongan seperlunya. :-)
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
1 month ago
7 comments:
Satu hal yang selalu saya bilang ke teman2 saya ketika mereka akan memulai sesi curhat ke saya, "Gue mungkin bukan pemberi nasihat yang baik, tapi gue pendengar yang baik."
Setelah membaca tulisan ini, saya pun bertanya kembali kepada diri sendiri apa benar saya seorang pendengar yang baik?
as apples of gold in pictures of silver,is a word spoken in season
Mengingatkan gue pada 'Momo'-nya Michael Ende ;-) Itu buku di elo ga sih?
Eh, OOT, judulnya bikin inget entri lo yang ini. :D Jadi cari pacar apa cari pendengar yang baik? Atau cari pacar yang pendengar yang baik? hihih..
maab, nyampah! :D
Hwaaaaa...terima kasih telah mengingatkan...
nice^.^
kelimaxxx... hehe..
ia, gw jadi inget momo.
saya suka ngasal kalo ngomong, makanya mending diam n mendengar (walopun blm tentu pendengar yg baik)
verifikasi: andeh
andeh tapi nyata
Jenny...
Masihkah mau dan ada untuk menjadi tempat sampah buat gue??
;)
Hi, mb J
Blogwalking malem2 krn ga bs tdur niy.. Eh keasikan bc blog nya mlh jd ga minat tdur. Hehe.. :D
Nice writing this one. Like it so much. U deliver it nicely.
Sangat menohok krn aq trnyata tipe yg susah menahan diri saat dcurhati. Moga kdpnnya aq bs jd pndengar yg baik buat tmn2ku. Btw temennya kereenn.. :)
Post a Comment