Orang tua saya berpisah ketika saya berusia empat tahun. Penyebab dari perpisahan mereka, sejauh yang saya tahu, adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada yang mengatakan, seharusnya ibu melahirkan enam anak, namun akibat kekerasan yang terus dialaminya, janin yang sanggup bertahan di rahimnya hanya dua. Saya dan adik saya.
Tidak lama setelah melahirkan adik saya, ibu lari dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan yang semakin menjadi-jadi. Beliau sempat terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuh lebam. Saya sendiri baru mengetahui peristiwa ini setelah beliau meninggal lima tahun silam. It remained a mystery for more than 20 years. Setelah keluar dari rumah sakit, beliau membawa adik saya yang masih bayi dan pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa tahun kemudian, saya menyusul dan tinggal bersama ibu.
Saya tidak tahu apakah pernyataan ini akan terdengar kontroversial, namun sebagai seorang anak yang mengalami dampak perceraian, saya justru berharap orang tua saya bercerai lebih dini. Seandainya ibu memiliki keberanian untuk pergi lebih awal, mungkin ia tidak perlu terkapar di rumah sakit dengan memar di sekujur tubuh. Seandainya perpisahan itu dilakukan lebih awal, mungkin ia tidak perlu dihantui trauma dan luka batin seumur hidup. Meski beliau tidak pernah membicarakannya, saya tahu, luka itu ada.
Banyak orang mengatakan, kebahagiaan anak seharusnya diprioritaskan di atas kebahagiaan orang tua. Saya justru berharap sebaliknya. Seandainya sejak awal ibu memprioritaskan kebahagiaannya di atas kebahagiaan saya, barangkali kisah hidup beliau akan berakhir lain. Saya pernah membaca sebuah tulisan, bahkan anak-anak yang orangtuanya tidak mengalami KDRT dan mempertahankan pernikahan ‘demi kebahagiaan anak’, dapat merasakan apa yang sesungguhnya terjadi pada orang tua mereka. Kenyataannya, duduk bersama di meja makan, masuk ke kamar yang sama setiap malam, datang bersama ke acara-acara sekolah, dan banyak sandiwara lain yang dilakukan demi sang buah hati, tidak cukup untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari batin anak yang bersangkutan. They just know. They can feel it. At least, that’s what I read. Di sisi lain, bahkan sebagai anak kecil yang belum mengerti apa-apa, saya turut terkena efek psikologis dari setiap kejadian buruk yang dialami ibu, karena saya membagi aliran darah yang sama dengannya.
Saya tidak tahu dengan orang-orang lain yang orangtuanya juga bercerai. Apa yang mereka rasakan bisa saja berbeda. Namun, saya bersyukur orang tua saya bercerai.
Dalam sebuah obrolan santai beberapa tahun silam, ibu bercerita kepada saya dan adik tentang beberapa orang yang sempat dekat dengannya sebelum beliau bertemu ayah saya.
“Yang naksir Mama itu dulu mulai dari dokter sampai pengusaha. Nggak tahu gimana, bisa jadinya sama Papi kamu,” ujarnya.
Mendengar itu, adik saya nyeletuk, “Kenapa Mama nggak jadian sama yang pengusaha aja? Kan lebih enak!”
“Kalau Mama nggak kawin sama Papi kamu, nggak bakalan ada kamu,” beliau menjawab enteng. Ibu saya bukan orang yang ekspresif. Beliau cenderung keras dan dingin dalam mendidik anak-anaknya, namun saat itu saya yakin, saya mendengar senyuman dalam jawabannya.
Ibu mungkin akan lebih bahagia menikah dengan dokter atau pengusaha. Mereka yang mencintainya dan tidak memukulinya seperti ayah saya yang pemabuk. Namun dengan begitu, tidak akan ada saya. Tidak akan ada adik saya. Dan sama seperti saya tidak menyesali keputusan yang diambilnya berpuluh tahun silam, saya tidak menyesali keputusannya untuk bercerai. Karena perceraian beliau memberikan saya ayah terbaik di seluruh dunia.
Bagi Anda yang mengikuti blog ini dan mulai bertanya-tanya, ya, pria yang saya panggil ‘Ayah’, yang saya cintai segenap jiwa dan berkali-kali muncul dalam tulisan-tulisan saya, bukanlah ayah kandung saya. Beliau menikah dengan ibu setelah ibu dan ayah kandung saya bercerai. Dan beliau adalah satu-satunya orang yang berada di sisi ibu ketika wanita tersayang itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.
Kami, anak-anaknya, tidak ada di sisinya. Ibu saya meninggal didampingi laki-laki yang mencintainya sampai akhir hayatnya, yang menerimanya apa adanya dengan tanggungan dua orang anak dan tidak pernah –satu kali pun—mendaratkan pukulan di tubuhnya. Laki-laki yang pernah dikucilkan keluarganya selama bertahun-tahun karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak bisa menerima keputusannya untuk menikahi ibu saya. Laki-laki yang pernah kehilangan mata pencaharian karena sang ayah yang jengkel terhadapnya menarik toko obat yang sedang ia kelola dan memberikannya kepada saudaranya yang lain. Laki-laki yang rela tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan ibu, dan tetap mencintai saya dan adik seperti anak kandungnya sendiri. Laki-laki yang sampai hari ini masih menyimpan foto ibu saya di ponselnya. Laki-laki itu tidak hanya saya panggil ‘Ayah’. Darinyalah saya belajar memaafkan dan mencintai.
Saya menulis artikel ini setelah membaca sebuah diskusi di internet yang membahas perceraian dua figur publik di Amerika Serikat. Selain keputusan yang cukup mendadak dan memancing reaksi para anggota forum, yang paling banyak dibicarakan adalah dampak perceraian mereka terhadap anak-anak yang berusia 9 dan 6 tahun. Pendapat yang dilontarkan pun beraneka ragam. Ada yang bisa memahami, ada yang mendukung, ada yang kecewa, ada pula yang terang-terangan mencela mereka sebagai orang tua yang tidak bertanggung jawab, egois, menelantarkan kebahagiaan anak, dan sebagainya.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak itu kelak. Mungkin orang-orang di forum itu benar. Mungkin juga mereka salah. Yang saya tahu hanya, dalam daftar hal yang paling saya syukuri di dunia, perceraian orang tua saya menduduki peringkat awal. Saya bahkan mengagumi ibu yang dengan tegar berjuang melepaskan diri dari siksaan dan dengan berani menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang menandatangani surat cerai.
Perceraian bagi sebagian orang mungkin merupakan simbol dari kesedihan, penderitaan, bahkan tragedi. Tidak bagi saya. Perceraian telah mengajarkan saya tentang kejujuran dan cinta, dan pada akhirnya, mengajarkan saya untuk berdamai dengan hidup.
:-)
-----
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago