Sunday, August 12, 2007

The Power of Love

Setelah terkagum-kagum dengan tindakan heroik Lily Evans Potter untuk melindungi putranya (dan berharap saya bisa punya keberanian yang sama, seandainya dihadapkan pada situasi serupa), semalam saya kembali terbengong-bengong dalam usaha menamatkan Harry Potter 7.


*Mrs. Rowling, if you ever read this, 4 thumbs up for you (kayak mungkin dibaca ajaaa, hihihi).

J.K. Rowling itu jenius.

Dengan senang hati saya mengatakan itu pada orang-orang yang mencela Ibu beranak tiga ini atas kisah Harry Potter yang dianggap menyesatkan dan mengajarkan ilmu hitam (plis dyeeeh). Bukan sok membela seakan kenal, tapi sebagai penggemar Harry Potter yang sudah khatam buku-buku setebel dosa itu, saya tahu apa saja yang tersaji dalam cerita tersebut secara keseluruhan -- tidak seperti mereka-mereka (maab) yang sekedar ‘merasa tahu’ dan menjadikan pengetahuan seujung kuku itu alasan untuk mencela seenak perut. (Yang kalau ditanya, “Nyela gitu, emangnya pernah baca?” Maka jawabannya kira-kira: “Nggak sih… tapi ya tau laaah, Harry Potter itu kan penyihir, trus dia pakai mantra-mantra gituuu sama belajar ilmu sihir yadda yadda blablabla...” Idih.)

Maafkan kalimat saya, tapi hal-hal seperti ini sungguh membuat naik darah. Sekali lagi, bukan karena sok membela Ibu Rowling, tapi karena sebagai orang yang sama-sama gemar menulis *ihiwww sedap*, saya menghargai tulisan beliau sebagai sebuah karya. Maka dari itu, please, wahai orang-orang yang demen-asal-nyela, kalau kalian tidak bisa menahan dorongan jiwa untuk mencela Maestro yang satu ini, at least tolong jangan mengucapkannya di depan saya, karena hal tersebut berpotensi memberi pengaruh buruk pada kesejahteraan jiwa. Hahaha. :DD


Anyway, sampai mana tadi…

Oh ya. Saya selalu mengagumi Lily Evans dan jiwa heroiknya. Tapi seiring berjalannya waktu *tsah*, saya mulai berpikir, mungkin faktor utamanya bukan jiwa heroik kali, ya... Sepertinya sih -dan kayaknya ini yang benar- faktor utama yang memicu kejadian dahsyat (yang membuat Harry menyandang predikat The Boy Who Lived sekaligus mengalahkan Voldemort dalam 'Harry Potter: The Chamber of Secrets') itu adalah, well... ...
simply the power of love.

:)

Bahkan J. K. Rowling dengan daya imajinasi dan writing skill yang edhian tenan itu kembali pada prinsip yang sederhana namun kuat ini: the power of love. Dan dalam kasus Mas Harry *gw kok asa ilfil ya nulis gini, hehehe… biarin deh*, kekuatan cinta itu datang dari seorang Ibu.

Seorang Ibu yang membawa anaknya di dalam rahim selama 9 bulan, melahirkannya ke dunia dengan perjuangan antara hidup dan mati (okay, now, don’t tell me they use magic for such thing as birth-processing), membesarkannya dengan segenap cinta... untuk kemudian mengorbankan nyawa demi melindungi si bocah.

Lily tidak pernah tahu apakah tindakannya betul-betul sanggup melindungi Harry. Ia tidak pernah tahu bahwa kekuatan cintanya memiliki kuasa untuk menyelamatkan Harry. Lily tidak pernah tahu. Yang ia tahu hanya berjuang sampai titik darah terakhir. Mengorbankan diri demi memperpanjang usia putranya, walau hanya untuk sekian detik. Memilih mati asalkan Harry tetap (memiliki kemungkinan untuk) hidup, walau konsekuensinya ia tidak akan pernah melihat putranya lagi. Tidak akan bisa bermain bersamanya lagi. Tidak akan bisa mengajarinya berjalan. Tidak akan bisa mengantarnya naik Hogwart's Express. Tidak akan bisa menyaksikan Harry tumbuh dewasa.

Itulah yang dipilih Lily Evans. Asalkan putranya tetap hidup.

Semalam saya kembali terharu-biru membaca dua kisah heroik yang lain. Lagi, kekuatan cinta seorang Ibu dengan suksesnya membuat saya bengong-bengong mellow.

Molly Weasley bertransformasi dari ibu rumah tangga biasa nan cerewet menjadi superheroine yang bertarung satu lawan satu dengan Bellatrix Lestrange (a.k.a powerful -not to mention skillful- witch who killed Sirius Black and managed to turn two Aurors into nothing more than living corpses) ketika melihat Ginny nyaris tewas oleh Unforgivable Curse yang dilancarkan Bellatrix…


‘OUT OF MY WAY!’ shouted Mrs. Weasley to the three girls, and with a swipe of her wand she began to duel.

...bahkan menolak pertolongan dengan gagah berani.


‘No!’ Mrs. Weasley cried, as a few students ran forwards, trying to come to her aid. ‘Get back! Get back! She is mine!’

Keberanian seperti itu hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dorongan untuk maju membela seseorang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dan kekuatan untuk menyelesaikan pertarungan –walau resikonya kehilangan nyawa- tidak bisa tidak, hanya muncul dari kekuatan cinta. :)

Narcissa Malfoy memilih untuk mempertaruhkan hidupnya dengan cara yang berbeda, untuk tujuan yang sama.


Is Draco alive? Is he in the castle?’
The whisper was barely audible; her lips were an inch from his ear, her head bent so low that her long hair shielded her face from the onlookers.
Yes,’ he breathed back.
He felt the hand on his chest contract, her nails pierced him. Then it was withdrawn. She sat up.
‘He is dead!’ Narcissa Malfoy called to the watchers.

Mengabaikan tugas pertama (dan mungkin satu-satunya yang pernah diterima seumur hidup) demi menipu Voldemort di depan seluruh Death Eaters, itu juga hanya bisa dilakukan dengan kekuatan cinta. :)

Sumpah, saya membenci Lucius Malfoy dengan segala tingkahnya. Pun Draco Malfoy, dengan arogansinya yang selalu sukses bikin naik darah *deuuuwwwhh segitunya*. Tapi khusus untuk Narcissa Malfoy, saya membuat pengecualian, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena sejak awal tokoh ini jarang sekali muncul dan hanya berfungsi sebagai pelengkap suasana, sehingga tidak memberi saya alasan untuk bersikap sentimen. *wink*
Kedua, karena saya tidak yakin Narcissa betul-betul jahat. Ia bahkan bukan Death Eater; hanya seorang istri yang ketiban pulung oleh kesintingan suaminya.
Ketiga, tindakan super heroik Narcissa –walau hanya ditulis beberapa paragraf- telah meluluhkan hati saya yang dasarnya sumellow ini. :)

Entah antagonis, protagonis atau sekedar ‘wrong person in wrong place’, Narcissa Malfoy sudah jadi salah satu tokoh favorit saya. Karena lepas dari karakter apapun yang dimainkan seseorang dalam hidup, saya percaya nature yang satu itu tidak akan pernah berubah -- abadi, tak lekang oleh usia dan semakin bersinar dari waktu ke waktu.

Keajaiban yang ditanamkan Sang Pencipta saat Ia mendesain makhluk bernama Perempuan itu adalah
Cinta Seorang Ibu.

*Entri ini dipersembahkan untuk seorang wanita yang melahirkan saya 23 tahun silam - yang selalu saya cintai, meski beliau tidak lagi berada di sisi saya. I love you, Mom. :)


Tangan halus dan suci
T'lah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan.




(Bunda - Melly Goeslaw)


pictures taken from www.fotosearch.com

7 comments:

Anonymous said...

aduh ka jenny postingannya menyentuh skali,,,,hebat2,,,oh iya ka kl ada wkt buka blog ku ya,,,www.atatituteto.blogsome.com,,,
makasih lo ka sblmnya,,,,
hehhehehe

JengMayNot said...

Eh, mulai nyilet2 orang, dia! Bagus.. ada kemajuan :)

Gw juga takjub waktu Molly membunuh Beatrix. That's the power of a mom who loves her children very much. Apa yang beyond measure pun bisa dia lakukan :)

Tapi, Narcissa gw gak suka.. hehehe.. Mungkin dia emang bukan death eater, tapi kalaupun dia baik, dia bukan pribadi yang sekuat Andromeda Tonks, yang berani memilih jadi "orang baik" dari awal :) Walaupun, ya, Draco membuatnya kuat untuk memilih ;)

JengMayNot said...

Kok Beatrix sih? Maksud gw: Bellatrix ;)

Anonymous said...

Eh Jeng, Bellatrix kan nggak dibunuh? Di wawancara sama J.K. Rowling (tentang jeda 19 tahun di antara bab terakhir sama epilog, yang tautannya ada di blog loe) bukannya Bellatrix tetep hidup, malah menikah?

BTW, Beatrix entuh bukannya beneran ada? Sepupu jauhnya Harry malah.. yang nulis 'Peter Rabbit' dan pilemnya bentar lagi bakal nongol di XXI.

*dum di dum*

eternity ruthia said...

aaa.. yes yes! setelah selesai baca buku ke-7, inti cerita dari harry potter itu adalah love and friendship. soo sweet!

apalagi persahabatan harry ron hermione, hebat! sometimes I envy them. hehe ;)

jk rowling is certainly a genius!

JengMayNot said...

Eh, Jen, Bellatrix beneran mati, lagi! Nikahnya kan udah sebelum mati dan sebelum masuk Azkaban? Makanya namanya jadi Bellatrix Lestrange, karena dia nikah dengan Rudolphos Lestrange. Waktu gadis sih namanya Bellatrix Black :)

Haduuuh! Tontonannya Peter Rabbit :) Loe bisa nonton bareng Ima deh.. hehehe..

Anonymous said...

Eternity: Yup. I DO envy them, hehe.. terharu banget baca cerita Hermione, bagaimana dia ngungsiin keluarganya supaya mereka aman sementara dia berjuang sama Harry. Sampe segitunya for the friendship's sake.. hiks :)

Mbak May: Gw kan berjiwa muda Jeng ;) *okay, masa kecil kurang bahagia*
Eh tapi seriously nih, Peter Rabbit itu lucu sekaliii.