Saturday, May 17, 2008

Nyanyian Sahabat

Belum habis masa berkabung karena kepergian ayah kawan baik saya, beberapa hari lalu saya kembali dibikin shocked oleh dering telepon jelang jam 10 malam – tepat setelah saya selesai mencuci rambut (ada apa dengan keramas jam 10, sih?).

Ayah sahabat saya baru saja berpulang ke pangkuan Yang Mahakuasa di ruang ICU RS Tebet.

Lagi-lagi saya terhenyak dengan rambut basah dan handuk tersampir di bahu. Kali ini airmata saya benar-benar menetes.

Beda dengan ayah Mira dan Lisa yang belum pernah saya jumpai, saya cukup sering bertemu dengan Pak Andy Azhar, ayah dari Karin Gayatri Azhar, sahabat slash salah satu sumber ide saya dalam menulis novel ‘Triangles’.

Meski begitu, tidak banyak yang saya ingat dari beliau, karena kami jarang bercakap-cakap. Paling banter hanya saling sapa di pagi hari, karena dulu saya sering menginap di rumah Karin untuk mengerjakan proyek bersama (sekaligus ngecengin adiknya, Ariel ‘Nidji’ Harsya, si gitaris tampan *HALAH!* nan kharismatik - Hi, Yel, if you read this ^_^).

Kenangan yang paling jelas terekam di otak saya adalah sosok beliau di sofa ruang tamu, pagi jelang pukul 9, membaca koran dengan kaus kutung dan sarung. Tumpukan DVD yang menemani hari-hari santai beliau, piring-piring berisi aneka makanan yang dihidangkan terpisah di meja ruang tamu, dan wadah plastik berisi obat-obatan juga meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Kesehatan Pak Andy telah mengalami fluktuasi sejak 5 tahun silam, namun beliau menolak untuk pasrah pada keadaan. Beliau tetap suka bepergian seorang diri dan mengontrol studio yang dikelolanya.

- - - - -

Mendadak saya merasa ‘gamang’. Dengan terburu-buru saya mengemasi pakaian seadanya dan memesan taksi. Sambil menunggu, saya menghubungi beberapa teman yang sudah tiba di kediaman keluarga Azhar.

Sampai di sana, saya disambut oleh seorang asisten rumah tangga. Saya naik ke lantai 2, langsung menuju kamar sahabat saya. Ia tersenyum, tapi wajahnya pias. Yang bisa saya lakukan hanya memeluknya erat.

Setelah berbincang beberapa menit, kami turun ke bawah, langsung menuju ruang tamu yang hampir kosong. Sofa-sofa telah dipindahkan. Meja telah diusung keluar. Yang ada hanya hamparan karpet beraneka warna dan ukuran. Di atas spring bed berukuran single, ditutupi kain batik dan renda-renda putih, terbaring jasad ayah sahabat saya.

Setelah melihat wajahnya untuk yang terakhir kali, saya duduk di undakan tangga. Di samping saya duduk seorang perempuan yang wajahnya sering saya lihat di televisi. Kami bertukar senyum, bercakap sekenanya, dan sesekali membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Malam terus menjelang. Hari berganti tanpa saya tahu. Satu-persatu pelayat berdatangan. Mulai dari kerabat, sahabat almarhum dan keluarganya, rekan sejawat, sampai sosok-sosok yang sering berseliweran di layar kaca - yang pernah saya lihat di iklan A, film B, sinetron C, video klip D, dan sebagainya. Bedanya, kali ini tak ada performa apapun, karena mereka datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada figur yang pernah memberi kontribusi besar bagi berjayanya perfilman nasional di era 70-an.

Kali ini, tak ada jenjang antara ‘masyarakat biasa’ dan selebriti papan atas. Semua bersimpuh di hamparan karpet, duduk sama tinggi, membaca surat Yassin dengan lirih, membisikkan doa untuk menghantar kepergian almarhum. Melebur dalam lantunan ayat-ayat suci.

Wartawan mulai berdatangan. Duduk di sudut dan mohon izin dengan sopan untuk mengambil gambar di ruangan berlampu redup itu, serta mewawancarai anak-anak almarhum. Seorang personil band yang sedang membaca Yassin menundukkan kepala dalam-dalam ketika kamera menyorotnya. Ia menyembunyikan wajah dengan tudung jaket dan merendahkan tubuh, tak ingin terekspos. Sepenuh hati saya menghargai tindakan sederhana itu.

Tamu-tamu terus berdatangan, silih berganti. Peluk tangis mewarnai suasana. Berkali-kali saya merasakan semilir sejuk di hati, melihat banyaknya dukungan yang diberikan bagi sahabat saya dan keluarganya - mulai dari tepukan di punggung sampai peluk hangat nan erat.

Namun, dari semuanya, yang paling menyentuh adalah sekelompok remaja yang datang beramai-ramai -semua berbaju hitam- dan langsung bersimpuh di depan jenazah, membaca doa tanpa dikomando. Mereka duduk cukup lama, kemudian berkumpul di luar, bergerombol memenuhi gang. Rupanya mereka datang berkonvoi dengan motor.

Subuh menjelang dan mereka masih menunggu dengan tertib, tanpa berisik. Entah apa yang dinanti. Mereka bukan kerabat, bukan kawan almarhum maupun keluarga, bukan juga rekan sejawat. Mereka adalah sekumpulan penggemar –Nidjiholic- yang datang untuk menitipkan sebait doa, tulus dari hati.

Pukul 3:30 pagi, diiringi pembacaan ayat-ayat Al-Quran yang terdengar sampai ke lantai 2, saya memejamkan mata. Lamat-lamat terdengar isak lirih dari tempat tidur sahabat saya.

Hampa itu kembali mengusik. Kosong, gamang. Namun setidaknya, saya tahu, apapun yang terjadi, mereka tak akan pernah sendiri. Selama masih ada pelangi bernama persahabatan. :-)


Saat hidup terasa berat,
genggam tanganku lebih erat,
satukan langkah sehati,
menggapai mimpi-mimpi

Saat air mata membasahi relung jiwamu,
nyanyikan lagu ini denganku
Akan s’lalu ada, seribu tangan, di hatiku
ku tahu begitu pula di hatimu

(Nyanyian Sahabat – Cokelat)

3 comments:

rina said...

hiks Jen, jadi terharu bacanya. That's what friends are for memang. Sampaikan salam dukacita ke temanmu itu ya. Tuhan beri kekuatan selalu, amin

Anonymous said...

mbak J, uhukk jadi sedih lagi,, inget papah lagi.. peluk jauh dari untuk yang berduka..


oot dikit, cara nge-link mba J ke blog ti gimana ya?? maklum, masih baru di dunia per(silat)blog-an. biasanya cuman nulis-nulis aja ngga pernah nge link. thx

Jenny Jusuf said...

Rina: Terima kasih untuk dukungannya, Rin. Salamnya pasti aku sampaikan ;-)

Titi: Dari Dashboard masuk ke Lay-out, terus pilih 'Tambah Elemen Halaman', nah dari situ kamu pilih 'Daftar Link'. Trus tinggal diisi dan di-save deh. Good luck! ;-)