Saturday, May 30, 2009

Dalam Duapuluh Menit

Duapuluh menit sudah cangkir itu berada di depanmu
Isinya baru berkurang beberapa mili, meski uap panasnya sudah lama hilang.
Duapuluh menit sudah aku duduk di depanmu
Dan baru dua kali kau memandangku dengan senyum hambar.

Sejak tadi kau diam, termangu seperti orang bosan
Padahal ini kali pertama kita berjumpa setelah sekian minggu
Dan ini awal bulan
Dimana aku bisa menraktirmu kopi berharga puluhan ribu tanpa perlu memeriksa dompet.

“Kenapa?”
Hati-hati, aku bertanya.
Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik
Dan aku tidak ingin merusak momen yang harusnya manis ini.

Sambil mendesah, kau topangkan kedua tangan ke dagu.
“Seandainya bisa seperti mereka,” katamu.
Kuikuti arah pandangmu, kutemukan dua wanita menenteng BlackBerry seri terbaru
Kuku mereka dimanikur rapi, dan dalam sarung warna-warni benda itu bagaikan impian yang jauh dari genggaman.

Atau seperti dia,” tunjukmu.
Kembali kuikuti arah jarimu
Seorang laki-laki tengah menyodorkan kartu berwarna keperakan kepada pelayan
Benda macam itu takkan mampu mengisi dompetmu sampai kapan pun, kecuali mujizat turun dari langit dan menjadikanmu kaya-raya dalam semalam.

“Kayak dia juga boleh, deh,” desahmu dramatis.
Lagi-lagi kuputar tubuhku mencari objek pembicaraan
Seorang remaja duduk di pojokan sambil membaca majalah
Tas yang terletak di sampingnya jelas bukan barang murah, dan sandal yang dipakainya setara sepertiga gaji bulananmu.

Aku tersenyum.
Seandainya kau melihat apa yang kulihat, Dik.
Matamu tak mampu menangkap apa yang tersembunyi di balik peranti elektronik bersarung pelangi, kartu kredit platinum, dan benda-benda mewah
Namun mataku dapat.

Barangkali karena pandanganku cukup awas
Telingaku yang kelewat tajam
Meja-meja yang letaknya berdekatan
Atau café mungil yang sore ini tak terlalu ramai.

Wanita berkuku cantik yang menggenggam Blackberry itu tak hentinya mengeluhkan kelakuan suaminya kepada sang sahabat, yang mendengarkan sambil berkomentar bahwa nasib mereka tak jauh berbeda. Suami yang pergi keluar kota enam kali dalam sebulan. Pulang hanya untuk menyetorkan pakaian kotor, kemudian menghilang tak tentu rimbanya. Si Sulung yang pulang pagi dengan mulut bau alkohol dan membantingi barang-barang. Si Bungsu yang kerap dipanggil Kepala Sekolah karena gemar membolos. “Pusing gue, Rin. Kenapa hidup begini amat, ya?”

Pria dengan kartu kredit platinum itu baru saja ditinggalkan oleh seorang wanita berambut panjang. Setelah mengecupnya sekali, dengan setitik air di pipi ia berkata, “Kembalilah ke anak dan istrimu. Mereka lebih berhak atas dirimu.” Lelaki itu menatap sayu, namun punggung itu tetap menjauh.

Remaja belasan tahun itu sedari tadi tak membalik majalah yang dibacanya. Saat meraih cangkir, matanya berkaca. Dua menit lalu ponselnya baru saja ditutup dengan kalimat, “Aku tuh cuma pengen Mama pulang sekali-sekali, ngumpul lagi sama Papa dan aku kayak dulu. Mama udah nggak sayang aku, ya?”

Seandainya bisa seperti mereka, katamu.

Mungkin kita memang perlu berputar, Dik, untuk menjadi apa yang bukan kita
Demi menemukan diri yang sejati, kebenaran kita sendiri
Serta pemahaman sederhana, bahwa memiliki segala yang dapat dibeli uang
Tidak selalu menuntun kepada bahagia.

-----

*Gambar dipinjam dari sxc.hu.com

15 comments:

tutimickey said...

gw kadang seperti itu jen .. lupa bersyukur. selalu menilai segala sesuatunya dengan uang, karna gw pikir dengan uang kita bisa bahagia, bisa mendapatkan apa yang kita inginkan ... :)

tutimickey said...

gw kadang seperti itu jen .. lupa bersyukur. selalu menilai segala sesuatunya dengan uang, karna gw pikir dengan uang kita bisa bahagia, bisa mendapatkan apa yang kita inginkan ... :)

Handika Aditya said...

Sebelumnya, salam kenal. saya direkomendasikan baca blog ini dari salah seorang temen saya. & postingan ini bener2 jd renungan yang baik buat saya.

"Mungkin kita memang perlu berputar, untuk menjadi apa yang bukan kita demi menemukan diri yang sejati, kebenaran kita sendiri..."

amazing!

^^

Fenny said...

two thumbs up! ^^

Nia Janiar said...

Atau si tokoh utama bisa bilang: Kalau saya malah jadi kamu.

ezra said...

saya tdk ingin menukar kehidupan saya dgn kehidupan lain bkn krn saya anggap kehidupan saya paling indah. saya mencintai khidupan saya krn saya tau dlm hidup saya ada kebaikan sperti dlm khidupan lain, dan dlm khidupan lain ada kburukan yg ada dlm khidupan saya.
btw, hav i told u lately that i luv your writings, j? ;)

verifikasi : mychalor
(terjemahan : clana dalam saya)
hehe..

Jenny Jusuf said...

Tutimickey: yep, I used to think that way, too (sampai sekarang pun kadang masih).. till I saw reality.

Dhit: salam kenal, thanks sudah mampir. Mudah2an betah main di sini.

Fny_w: hai, hai, senang ketemu lagi di sini. Apa kabar?

Nia: :-)

Ezra: humm.. udah belum ya? Tapi kalo mau diulang terus juga gak papa sih, seneng2 aja dengernya X-D

Gue ngakak2 baca verifikasi lo. Nih punya gue: iring. Iring2an semut.

chindy tan said...

Jen,
Sang Bhagavan mampu menembus apa yang ada di balik selembar kertas tipis di hadapannya. Tidak ada satu ilusi pun yang akan mengecoh Sang Bhagavan. Semoga mata kita makin jeli dan cerdas hingga tajam memilah mana ilusi dan mana realita...
tulisan yang bagus Jej;)

verifikasine blepoid
spesialis blepoidan kata...diriku ketoe masih kudu banyak belajar nuangin kata neh Jen, ternyata nulis g mudah ya...
kapan ke yk?

Prita said...

Dalem, Mbak..

kemarin pas habis gajian, aku juga sempat nongkrong nggak jelas di kafe kecil. Ngeliat persis yang mbak tulis, sambil mikir, "Hidup mereka sesempurna yang aku liat nggak ya?"

Padahal, definisi "sempurna" kan kita sendiri yang bikin, ya?? :-)

Thanks for remind me, Mbak JJ!

okke! said...

Halah... entri terakhir gw settingnya mirip ma entri loo :)) Ga sengaja bok. Emang ga ada yang baru yak di bawah matahari :D

BTW, nguping emang asik.

supriyanto danurejo said...

Pada akhirnya bersyukur adalah cara menikmati hidup karena seringnya saya hanya mampu menilai apa yang saya lihat, sebab suara-suara mereka terlalu lirih untuk kudengar, dan biasanya dengan melihat saya merasa cukup tahu untuk kemudian iri, dan ketika itu terjadi semua pemberontakan terhadap Tuhan dan diri sendiri terjadi. Seolah semua menjadi tidak adil. Saya ingin menjadi sederhana saja, menikmati apa yang saya punya, menjalani apa yang telah diberikan, karena itu adalah wujud bersyukur dan beribadah, toh ketika iri datang menjadi energi negatif, saya hanya mampu berkeluh kesah untuk kemudian terpuruk, tak ada solusi selain mengutuki diri. Mungkin menjadi terlalu naif namun siapa yang mau mengindahkan hidup saya bila bukan saya? Karena hidup hanya sekali maka indahkanlah.

plainami said...

me likey, JJ!!!!!

:D :D

Jenny Jusuf said...

Chindy Tan: sebenarnya awal bulan ini berencana ke sana Mbak, tapi sepertinya harus ditunda dulu. Kalau ke sana, pasti kukabari ^_^

Prita: kadang, apa yang terlihat sempurna itu nggak lebih dari 'bungkusan' yang menutupi ketidaksempurnaan. Seenggaknya hasil observasiku sih gitu, hehe

Okke: apalagi kalo sambil nguping, ditraktir :-D

Supriyanto: agree :-)

Ami: jadi, kapan kita nguping, eh, ngopi bareng?

Nita said...

Wah, kukira rumput ku ijo! ternyata rumput tetanggaku lebih ijo! Kalo diliat dari sono, rumputku ijo ga mbak JJ? huehe..

Salam kenal mbak.. Saya senang mbaca tulisan mbak. Mengingatkan saya untuk tak lupa 'berkaca'.

Arman said...

very nice posting!
yah namanya manusia, kadang refleksnya keluar rasa iri dan sirik. padahal setiap orang pasti punya permasalahannya sendiri2 ya...

kita harus lebih banyak mensyukuri apa yang kita udah punya.... :)

salam kenal ya!!