Sunday, October 11, 2009

Penting Nggak Penting

“Penting buat celebrity hunter, kali,” begitu komentar seorang kawan ketika saya mengomentari sebuah situs yang menampilkan update status terkini para selebriti sebagai ‘nggak penting seenggak penting-nggak pentingnya’.

Saya hampir menimpali dengan, “Kenapa juga ada yang nganggep berburu seleb itu penting?” ketika mendadak saya ingat, setahun lalu kalau nggak salah, ketika SMS Artis sedang booming-booming-nya, saya termasuk salah satu yang ikutan latah mendaftarkan nomor ponsel untuk menerima update dari selebriti favorit saya. Biaya registrasi 2000 rupiah, dan setiap SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya dikenakan biaya 1000 rupiah. Namanya juga nge-fans, nggak apalah, pikir saya.

2 hari kemudian, saya memutuskan untuk berhenti berlangganan. Kenapa? Karena SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya itu amat sangat tak penting. Entah bagi orang lain, namun bagi saya, menerima pesan macam, “Hai, apa kabar? Hari ini aku latihan di …” sungguh membosankan. Bahkan sepupu saya yang masih berumur 10 tahun bisa mengirim SMS yang jauh lebih menarik.

Selang beberapa waktu kemudian, saya jatuh ke lubang yang sama mengulangi hal yang serupa, bedanya, kali ini bukan artis, melainkan seorang pakar hipnotis tampan yang selalu berbaju ketat. Tidak sampai seminggu, saya berhenti berlangganan karena jenuh. Sejak itu, saya beranggapan mengikuti update selebriti adalah salah satu hal paling nggak penting di dunia. Bukannya nggak boleh (karena saya pun masih mengikuti beberapa figur publik di Twitter), tapi jelas bukan prioritas. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan; menulis balasan untuk komentator nyinyir yang nyampah seenak jidat di blog saya, misalnya. Atau bermalas-malasan di ranjang dari siang sampai sore. Sebuah kegiatan yang menurut sebagian orang sangat tidak produktif dan tidak penting.

Pesan moral sejauh ini? ‘Penting nggak penting’ bagi setiap orang memang berbeda-beda. Dan ‘penting nggak penting’ menurut persepsi seseorang pun sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu.

Contoh kasus: ketika saya membuat blog ini pada tahun 2006, dengan niatnya saya mendaftarkan diri ke banyak milis demi memperkenalkan tulisan saya ke publik. Caranya: saya mempublikasikan beberapa paragraf, memotongnya tepat di bagian ‘yang lagi seru-serunya’, kemudian mencantumkan alamat blog ini persis di bawah paragraf yang bersangkutan. Dengan begitu, anggota milis yang tertarik membaca kelanjutannya akan berkunjung ke blog ini, dan nantinya mereka bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain.

Sepenting itulah makna ‘dibaca orang’ bagi saya, dulu. Sekarang? Masih penting memang, bedanya, kini saya harus menahan diri untuk tidak memaki balik orang yang nyampah seenak jidat, mencela balik mereka yang beranggapan ‘segala-sesuatu-yang-diposting-di-internet-adalah-milik-publik-jadi-mari-kita-ngoceh-sesukanya’, atau merespon ketus “Apa-apaan sih lo?” kepada mereka yang dengan setia menerapkan prinsip SKSDSTSA (Sok Kenal Sok Deket Sok Tau Sok Asik) dalam pergaulan di dunia maya.

Nyampah seenak jidat, berkomentar seenak udel, dan bersikap SKSDSTSA bisa jadi sesuatu yang penting bagi orang yang bersangkutan. Saya tidak tahu alasannya. Saya tidak perlu tahu. Yang saya tahu hanya, adalah sesuatu yang JUGA penting bagi saya untuk tidak disampahi, di-judge seenak udel, atau diperlakukan seolah-olah kawan akrab yang bisa dicandai apa saja oleh orang yang tidak saya kenal. Menemukan apa yang diharapkan dan menumpahkan unek-unek mungkin penting bagi mereka yang membaca tulisan saya, namun JUGA penting bagi saya untuk menulis apa pun yang saya inginkan dan saya anggap penting.

Beberapa minggu lalu, saya terbengong-bengong membaca pesan offline di Yahoo Messenger yang berisi omelan; mengatakan saya judes, angkuh, dan sebagainya. Saya memutar otak, mencoba mencari rekaman peristiwa yang berhubungan dengan kejadian itu, dan tidak menemukannya. Satu-satunya yang saya ingat hanya, beberapa hari sebelumnya, si pengirim pesan menanyakan sesuatu tentang buku dan saya menjawabnya. Cuma itu. Apa yang salah?

Ternyata, ia kecewa ketika saya sign-out setelah menjawab pertanyaannya. Dengan segera ia menduga saya sombong dan judes karena tidak bersedia bercakap-cakap lebih lama. Mendengar alasan itu, saya hanya tertawa. Saya bukan penggemar chatting, bahkan dengan kawan-kawan dekat pun saya termasuk jarang ngobrol berlama-lama di dunia maya. Menjalin pertemanan melalui chatting barangkali penting untuk si pengirim pesan, namun JUGA penting bagi saya untuk melakukan apa yang saya mampu sebisanya tanpa melanggar batasan pribadi saya. Dan SANGAT penting bagi saya untuk tidak diomeli dan dijuluki macam-macam sebutan hanya karena saya keluar dari ranah maya SETELAH menjawab pertanyaannya.

Contoh kasus lain: seorang teman sering bertanya, “Lo butuh waktu berapa lama?” sebelum sesi curhat dimulai dan selalu minta di-SMS terlebih dahulu sebelum ditelepon. Awalnya, saya merasa aneh, risih, dan berpikir, “Malesin bener sih nih orang, sok penting banget. Nggak usah aja sekalian.” Lantas, saya tersadar. Sama seperti saya yang punya batasan pribadi dalam banyak aspek hidup (termasuk berelasi dengan orang lain), ia pun memiliki batasan-batasannya sendiri. Apa yang tidak penting menurut saya, bisa jadi penting baginya. Apa yang terdengar malesin bagi saya, bisa jadi merupakan sesuatu yang prinsipil bagi orang yang bersangkutan. Dan ternyata memang demikian adanya.

Bertelanjang bulat ke Circle K bisa jadi sesuatu yang hina, nista dan super-tak-penting bagi sebagian orang, tapi juga bisa dianggap sebagai tindakan heroik, keren, dan berani bagi sebagian yang lain. Dan ya, saya menganggap online berjam-jam untuk memantau perkembangan aksi nekat Bapak ini sebagai sesuatu yang PENTING. Penting buat saya, dan tak harus penting bagi orang lain.

;-)

‘Penting nggak penting’ memang sangat relatif, karena tidak ada dua orang yang sama persis di dunia ini. Saya bukan pakar dalam hal ini, tapi saya percaya salah satu kunci untuk berelasi dengan waras di dunia yang sakit jiwa ini adalah dengan menyadari APA yang penting bagi kita, dan menyadari bahwa apa yang tidak penting bagi kita BISA JADI penting bagi orang lain. Saya tidak bicara tentang tenggang rasa. Saya tidak bicara tentang saling menghormati. Kedua konsep itu sudah terlalu sering kita ucapkan dan telan bulat-bulat tanpa sungguh-sungguh memahami maknanya.

Untuk saat ini, sadar dulu aja, Cong. Saya juga masih belajar, kok.

-----

8 comments:

Rina Suryakusuma said...

Duh Jen, postingan yang dalam ;-) sabar ya... and keep writing, please. Saya senang baca postingan kamu :-)

okke said...

Kalo soal komentator blog, ga ada yang bisa ngontrol mereka mo komentar penting atau gapenting , yang bisa dilakuin (kalo kelewatan) cuma membiarkan mereka menggonggong :D

berkomentar ga penting : gue demen tulisan yang kayak gini daripada tulisan yang yaddayadda. :))

Jenny Jusuf said...

Rina: I'll keep on writing, cuma sekali2 pengen juga numpahin uneg2 :-)

Okke: membiarkan mereka menggonggong, dan gonggongin balik, huehehe.

okke said...

gonggong balik?
mengingatkan gue pada...
ah sudahlah...:D

Re said...

jen, udah nonton acara games di tipi "penting ga penting, penting banget?" hehe..lucu juga, itu acara dari judulnya aja udah aneh, ga nyambung ama materinya, tapi ya itu, penting buat elo belum tentu penting buat gw...hehehe...ini juga komennya ga nyambung ama postingannya :p

Iklan Gratis said...

kadang ada hal yang sebenarnya tidak penting tapi dipenting2in karena kesukaan ..
terutama kl dah di pusat belanja .. hmmmm ... tiba2 saja tas atau sepatu atau apalah menjadi sangat penting walaupun di rumah sudah bejibun tas2..^_^

Iklan Gratis

Victor said...

bener... penting gak penting.
Saya suka temenmu yang bilang, "lo butuh waktu berapa lama?".
Boleh juga tuh diterapin di sesi saya besok-besok :D

Thanks.

Keep writing ^^

Anonymous said...

Mba Jenny, salam kenal yaa...
Saya suka tulisan-tulisan mba,makasih yaa... sudah menginspirasi :D