“Nin, lo udah beli Conan yang bulan ini, kan?”
Sapaan itu terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu penghubung antara ruang makan dan teras belakang. Kolam renang tampak gemerlap tertimpa sinar bulan. Nina duduk di pinggirannya dengan kaki terendam. Ia menoleh sekilas. Steve muncul dari balik pintu geser, berkeringat dan masih memakai baju basket.
“Pinjem dong, Conannya!”
“Selamat malam juga.” Balas Nina sarkastis.
“Yeee, nyindir.”
“Siapa suruh dateng-dateng nyebelin! Jorok lagi!”
“Ini
mah bukan jorok!” Protes Steve nggak rela. “Keringetan doang, dan tidak mengurangi kegantengan!”
“Njis. GR banget sih!” Maki Nina. “Jauh-jauh sono, jangan ganggu gueeee!”
Bukannya beranjak, Steve malah duduk di samping adiknya. Melonjorkan kaki dengan malas, membiarkan jari-jarinya menyentuh air kolam. Air itu berkecipak sedikit.
“Awas kalo sengaja nyiprat-nyiprat!” Ancam Nina judes.
“Lo salah makan ya?”
“Bukan urusan lo.”
Steve tertawa mendengar respon yang diucapkan sambil cemberut itu. Ia mengacak rambut Nina. “Napa sih, sensi amat?”
“…”
“Gak cakep lagi tuh, kalo manyun gitu.”
“Emang.”
“He?”
“Mo manyun kek, senyum kek, gak ngaruh. Gue kan jelek.”
“Kok?”
“TADI LO YANG BILANG GITU!”
Steve mengusap wajahnya dengan mimik kocak. “Yang sabar… yang sabar…”
“Kalo gak sabar pergi sana!”
“Gue kan gak bilang lo jelek. Siapapun kalo ngambek plus marah-marah gak jelas, bentakin orang sambil teriak-teriak, pasti gak cakep lagi mukanya.”
“Agnes Monica apa kabarnya?”
“Ya itu
mah lain, hehehe…”
“HUH!”
“
Seriously…” Steve mengubah posisi duduknya sedikit, menghadap Nina yang wajahnya makin tertekuk, “Lo kenapa, Dek?”
Nina membuang muka. Cahaya bulan yang menimpa air kolam menciptakan refleksi indah di wajahnya.
Jeda itu mengambang di antara mereka, dan Steve tidak berusaha mengisinya. Biarkan saja.
“Windy bilang…”
“Windy yang
cheerleader?”
“Emang ada berapa Windy di sekolah? Orang lagi ngomong denger dulu kek!”
“…”
“Dia sekarang jalan sama Donnie.”
“Mantan lo itu?”
Nina mengangguk.
“Lo masih sayang dia?”
“
I’m totally over him,” geleng Nina. “
The thing is…” ia menggigit bibir bawah sebelum meneruskan, seolah takut dengan apa yang akan diucapkannya. “Windy nyebarin ke semua anggota
cheerleaders… kalo Donnie mutusin gue karena,
well… karena gue jelek.”
Steve mengerutkan kening.
Cewek tuh, kalo udah sirik, serem ya kelakuannya?
“Lo sakit hati karena itu?”
Nina menggeleng. “Gue udah tau -dari sejak pacaran- secara fisik gue gak memenuhi standarnya Donnie. Dia suka cewek yang putih, rambutnya lurus, hidungnya mancung… semua itu gak ada di gue. Donie sering bandingin gue dengan anak-anak
cheers lain, suruh gue
rebonding, pake
lotion pemutih kulit…”
Tanpa sadar tangan Steve mengepal. Darahnya menderas.
That son of bi**h. Kalo gue tau… Kenapa baru cerita sekarang, Nin?!
Tapi ia menahan lidah demi melihat gumpalan bening di sudut mata Nina.
“Gue gak terlalu peduli…” Nina mengusap mata, ”gue bangga dengan diri gue sendiri. Gue nyaman jadi diri sendiri, apa adanya. Dan gue gak mau berubah. Itu yang bikin Donnie mutusin gue.
At that time gue masih mikir, kalau cuma itu alasannya,
well… berarti dia emang
shallow and I deserve better. Gue gak nyesel dia pergi, karena hidup gue jadi lebih baik tanpa dia. Gue malah ngerasa bebas…”
“Gue gak ngerti, Dek,” Steve merendahkan intonasi, berusaha keras terdengar (agak) lembut, “kalo gitu, apa yang bikin elo
mewek kayak gini?”
“…”
“
It’s OK if you don’t want to answer, though.”
“Setelah berita itu nyebar ke anak-anak
cheers dan seluruh angkatan –lo tau kan anak-anak
cheers sekolah kita kayak gimana mulutnya-…”
Steve mengangguk sambil mendengarkan. Nggak heran. Waktu putus sama Manda aja, gosip yang beredar adalah Manda hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah! Padahal mereka putus karena Manda harus cabut ke luar negeri, ikut Papanya yang pindah tugas ke San Fransisco.
“Cara mereka liat gue, bisik-bisik di belakang gue…
somehow itu kayak negesin, bahwa gue emang gak pantes jalan sama Donnie. Gak heran Donnie mutusin gue. Karena gue jelek. Gue gak menarik.”
... ...
“Hari gini fisik bukan patokan lagi, Nin.” Steve berkata lembut.
“Tapi itu yang pertama diliat kan, Mas?” Nina berbisik, perih.
Steve menatap adiknya lekat-lekat. Gumpalan bening di mata Nina membuatnya ingin sekali menonjok cowok
leboi yang sudah merendahkan harga sebuah hubungan demi penampilan fisik. Tapi itu tidak ada gunanya. Sekarang Nina yang paling penting.
“
Attitude always comes first, Nin.”
“Fisik kan penting juga! Itu yang pertama keliatan mata!”
“Tapi bukan segalanya.” Steve berkata tenang. “Gue pribadi, kalo menilai cewek bakal lihat dari kelakuannya dulu. Cantik tapi manjanya setengah mati, ya malesin. Atraktif tapi kelakuan minus, ya lewat.”
Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak menduga jawaban yang menurutnya ‘dalem’ itu. “Emang apa yang lo lihat dari seorang cewek, selain kelakuan?”
Steve mengulurkan tangan, menyentuh ringan kening adiknya dengan jari telunjuk.
“Otak. Dan hati.”
“…”
“Itu yang menentukan apakah seorang cewek keliatan cantik di mata gue atau nggak.”
“Tapi kan itu kata lo.” Protes Nina.
“He?”
“Iya. Itu kan menurut lo. Di mana-mana juga, cantik itu relatif, jelek itu mutlak.”
“Siapa bilang?” Tangkis Steve, dalam hati bersyukur karena Nina kini tampak lebih tertarik pada objek diskusi mereka yang baru ketimbang
mewek. Walau itu adiknya sendiri, Steve paling kagok menghadapi perempuan yang menangis.
“Ada tuh di majalah.”
“Majalah didengerin. Prioritas mereka kan cari duit.” Cibir Steve, yang membuahkan tonjokan ringan di pundaknya. “Makanya pilih bacaan yang bener dong… kayak GameMania, Conan…”
“Heuuuuu, gak lucu!!”
“Eh, tapi
seriously, Nin…” Steve menatap adiknya lekat-lekat. “Percaya gue. Kecantikan gak diukur dari fisik doang. Tuhan itu nyiptain setiap manusia spesial. Setiap orang menarik dengan cara sendiri-sendiri. Dan elo…” Ia mengacak lembut rambut
wavy Nina, “Lo cantik. Beneran.”
“Trus tentang teori itu, gimana? Cantik relatif, jelek mutlak?”
“Itu salah,” jawab Steve santai, membuahkan kerut kesekian di wajah adiknya. “Yang bener, cantik itu yang mutlak.”
“Kok?!”
“Ya iya. Cantik itu absolut, kalo lo pikir lo cantik. Dan nggak ada yang bisa merubah itu. Nggak orang lain, nggak gosip, nggak apa kata majalah.”
Nina terdiam, mendadak takjub dengan perubahan abangnya malam ini.
Kesambet jin bijak kali, ya?
“Udah ah, gue mau mandi!” Steve melompat berdiri, membuat Nina terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. “Mana Conannya?! Pinjem dong!”
“Huh!” Cibir Nina. “Ntar aja abis lo mandi. Nanti komik gue bau kena keringet!”
“Alaaah pelit! Dipegang doang mana bau sih…” Steve mengusap keningnya yang penuh titik-titik air… ...dan mencipratkannya ke arah Nina dengan gerakan kilat, “Kalo begini tuh baru!!!”
“STEEEEEEVE… AWASSS LO YAAAAA!!!!!!!!”
---------
*Terinspirasi sebuah percakapan di kanal maya. Hey GABAN, kalo lo baca ini; elo bener banget. :)