Sayang,
Seharian ini saya tersenyum terus. Iya, agak mirip orang gila memang. Mau tahu alasannya? Saya selalu geli jika teringat polahmu tadi siang, ketika kamu berada dalam gendongan saya, dan dengan nyaman merengkuh leher dan pundak saya. Tiba-tiba kamu menggeliat, dengan gerakan yang begitu tiba-tiba sampai saya ngeri sendiri (maklum, lengan saya yang kurus ini agak ringkih untuk menahan gerakan mendadak dari tubuhmu yang semakin berat). Kamu bilang, kamu ingin pipis. Cepat-cepat saya menurunkanmu. Sayangnya, ucapanmu itu terlambat. Kamu sudah membasahi kemeja dan jaket saya dengan sukses. Saya hanya bisa tergelak melihat noda besar yang basah itu.
Tapi tenang, saya tidak marah kok. Mana bisa saya marah padamu? Kamu adalah sosok paling lucu, paling menyenangkan dan paling menggemaskan yang pernah saya temui. Saya tidak akan pernah bisa marah padamu, tidak peduli berapa sering pun kamu ngompol di gendongan saya, menumpahkan kuah sup yang berminyak ke tubuh saya, membasahi saya dengan liurmu, bahkan memukul kepala saya (saya tahu kok, kamu tidak sengaja melakukannya).
Kamu tahu, Sayang, kamu begitu berarti. Bukan hanya untuk saya, namun juga semua orang yang mencintaimu. Kamu sangat berharga. Mungkin kamu tidak ingat, Sayang, 2 tahun lalu, ketika kamu menghirup udara dunia untuk pertama kalinya, kami ada di sana. Menyaksikan kamu menggeliat. Mendengar tangisanmu. Melihat kamu tertidur dengan nyenyaknya. Dan kami merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Sesungguhnya, kami sudah bersama denganmu jauh sebelum kamu lahir, Nak. Kalau kamu ingat suara-suara lembut yang berbisik di balik dinding elastis tempatmu tumbuh sebagai janin, itulah kami. Kalau kamu ingat belaian ringan yang menggetarkan dinding itu, itulah kami. Kami menyertaimu sejak kamu masih sangat, sangat kecil. Itu sebabnya, ketika kamu (akhirnya) tiba di dunia, kami bersukacita.
Tahukah kamu, Nak, kamu muncul di dunia dengan perjuangan panjang. Kehamilan Ibumu tidaklah mudah. Beliau melalui masa 9 bulan itu dengan sukar karena perubahan fisik yang dialaminya. Rasa sakit dan tidak nyaman menjadi ‘makanan’ sehari-harinya selama 7 bulan penuh, sementara kebanyakan orang hanya mengalaminya selama tri semester pertama. Tapi tahukah kamu, Ibumu adalah wanita yang kuat. Sekalipun bergumul dengan kelelahan fisik,
insomnia dan sulit menerima makanan, Beliau tetap menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik; sebagai istri, pimpinan perusahaan dan ibu gembala sekaligus. Saya ingat malam-malam ketika ia bekerja dengan kaki bengkak dan perut mual. Ia memilih untuk menyelesaikan tanggung jawabnya dan mengabaikan rasa sakit itu. Ibumu wanita yang sangat mulia.
Proses kelahiranmu juga tidak terbilang mudah. Hari kemunculanmu sudah tiba, tapi kamu masih betah bersembunyi di dalam sana. Mungkin kamu masih ingin menikmati kehangatan rahim Ibumu. Yang jelas, sementara kamu berbaring nyaman di dalam sana, kami mulai panik. Sebulan lebih kami menanti, Nak. Sebulan lebih orangtuamu menunggu dengan sabar. Dan ketika saat itu akhirnya tiba, Ibumu bergumul selama belasan jam demi melahirkanmu. Induksi tanpa disertai suntikan epidural membuat Beliau kesakitan luar biasa. Ibumu berjuang melawan rasa sakit dan takut yang hebat, Nak, semuanya demi menyaksikanmu menghirup udara dunia dengan bebas. Demi mendengar tangisanmu yang pertama. Demi menimang dan membesarkanmu.
Ketika kamu berusia 40 hari, sesuatu terjadi. Kamu terkena penyakit bernama Stephen Johnson Syndrome (mudah-mudahan saya menulisnya dengan benar, karena saya tidak paham penyakit apa itu, dan tidak berminat mencari tahu). Penyakit itu membuatmu terbaring berhari-hari di ruang perawatan intensif Rumah Sakit. Dokter bahkan mengatakan, terlambat sedikit saja, kami bisa kehilangan dirimu. Kamu berbaring lemah di sana, Nak, dengan bengkak dan luka di sekujur tubuh. Ketika luka itu mengering, koreng yang ditinggalkan menimbulkan bau anyir yang pekat. Kami menangis melihatmu, namun yang paling menderita adalah orangtuamu. Saya tidak pernah melihat mereka ‘terpuruk’ seperti itu. Mereka orang yang kuat dan selalu ceria, tidak peduli sebesar apapun masalah yang mereka hadapi. Hari itu, mereka tertunduk dan menangis. Tapi itu semua justru menyadarkan saya, sebesar itulah cinta orangtua. Sebesar itulah cinta mereka padamu, Nak.
Dan saya mengingat malam-malam itu seperti baru kemarin. Malam-malam panjang setelah kamu sembuh, di mana orangtuamu tidak tidur demi memantau kondisimu. Malam-malam di mana mereka menyelinap masuk ke kamarmu dan duduk berjam-jam di sana demi memasukkan beberapa cc susu ke perutmu, karena kamu selalu menolak bila disodori susu saat kamu terbangun. Iya, kami tahu, susu
hypoallergenic itu memang amit-amit rasanya. Aromanya pun membuat mual, lebih mirip air kaporit daripada susu bayi. Saya ingat, betapa Ibumu mudah sekali sakit karena daya tahan tubuhnya menurun drastis, akibat bermalam-malam tidak tidur. Saya ingat betapa Ayahmu jadi rentan terhadap flu dan pegal-pegal, akibat membuaimu semalaman. Semua agar kamu bisa tidur dengan nyaman dan tumbuh sehat. Nak, mereka sangat mencintaimu.
Lalu tiba saatnya kamu belajar bicara. Betapa mata ayahmu berbinar bangga saat kamu mulai menyebutkan suku kata pertamamu, disambung dengan ‘Dad’, kemudian ‘Mom’. Betapa wajah Ibumu bersinar-sinar saat bibir mungilmu mengeluarkan kata-kata lucu. Pemandangan seperti itu takkan bisa dibeli dengan apapun, Sayang.
Kami semua heboh ketika kamu mulai belajar berjalan. Kami heboh menyemangatimu, berlomba menuntunmu dan menjadi ‘penjaga’ di sampingmu – agar kamu tidak terpelanting. Bayangkan betapa bahagianya kami saat kamu mulai menyusuri lantai, setapak demi setapak, dengan langkah-langkah mungilmu. Bayangkan betapa berisiknya kami, ketika kamu terjatuh dan menangis. Selanjutnya, kami akan heboh berseru menenangkanmu dengan kalimat sakti: “Nggak apa-apa, Alex kan hebat!” sehingga kata-kata itu menjadi ‘mantra’mu di kemudian hari (“Ga pa-pa-pa-pa!”).
Waktu berlalu begitu cepat, Nak, seperti pusaran angin yang tak berkompromi. Kamu semakin besar. Kamu semakin lincah, lucu dan berat (hehehe). Tahukah kamu, rasa sayang kami padamu tidak berkurang. Justru semakin bertambah, karena ketika kamu tumbuh dalam kehangatan cinta, kami juga turut bertumbuh bersamamu.
Hari ini, Sayang, saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang dapat kamu baca (dan kenang) di kemudian hari. Ketika kamu cukup besar untuk memahami isi tulisan ini, kami pun sudah semakin tua. Mungkin saat itu memori akan masa kecilmu sudah berlubang-lubang, sehingga lebih baik jika saya menuliskannya sekarang.
Ingat selalu, Nak… kamu ada di dunia ini untuk sebuah tujuan yang besar. Kamu tercipta untuk menjadi luar biasa. Kamu ada berkat doa yang tidak pernah berhenti, yang terus dipanjatkan orangtuamu dan orang-orang yang menyayangimu. Kamu besar dalam kehangatan cinta, dan cinta yang sama akan terus menyala dalam dirimu. Jangan pernah lupakan malam-malam sunyi ketika Ayah dan Ibumu duduk di sisimu dan mendoakanmu. Jangan pernah lupakan rasa nyaman dalam dinding elastis itu, ketika Ayahmu menumpangkan tangannya yang hangat dan berdoa bagimu. Jangan lupakan masa-masa dimana tangan mereka membelai lembut tubuhmu, mengusap sayang keningmu, mengayunmu dalam lengan-lengan kokoh dan menciummu dengan segenap cinta. Jangan pernah lupakan itu, walau mungkin kamu masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Jika kamu belum dapat menyimpannya dalam memorimu, setidaknya ingatlah cinta itu.
Jika waktu berlalu dan kamu semakin dewasa, banyak hal akan berubah, Sayang. Akan tiba waktunya kamu terlalu besar untuk kami gendong dan ciumi. Akan tiba saatnya kamu menapaki fase hidup yang tidak dapat kami masuki. Akan tiba saatnya ketika segala hal yang biasa kami lakukan bagimu tidak dapat kami lakukan lagi. Karena kamu telah tumbuh dewasa.
Satu pesan kami, Nak… teruslah bertumbuh. Bertumbuh dalam cintaNya. Bertumbuh dalam anugerahNya. Bertumbuh dalam kekuatanNya. Temukan Dia dalam sosok orangtuamu, dan teruslah bertumbuh menjadi seperti mereka, karena orangtuamu adalah teladan terbaik yang dapat kau jumpai (bahkan kami pun belajar dari mereka).
Dan pesan kami yang terakhir, Nak (
okay, pesan
saya tepatnya)… kalau kamu sudah besar nanti, jangan lupakan tangan-tangan yang pernah menggendongmu. :)
Kami mencintaimu, selalu.
Salam sayang,
Auntie Jenny*Sebuah persembahan untuk Merpati kecil yang selalu
tersenyum, dan mereka yang disebut 'Ayah' dan 'Ibu'. Tabik. :)