“Ngejalanin hidup begitu aja, kerja tinggal kerja, kawin tinggal kawin, habis itu punya anak, tua, meninggal… that’s it.” Tambahnya. “Sedangkan gue, gue gak bisa hidup tanpa passion.” Ia menyelesaikan kalimatnya sambil melajukan mobil ke sebuah restoran cepat saji, tempat kami menikmati santap siang.
Saya langsung menyetujui perkataannya itu bulat-bulat. Jujur saja, saya sering tidak habis pikir dengan ‘doktrin’ takdir yang dianut kebanyakan orang. Bahwa setiap manusia diciptakan dengan lingkaran hidup yang mutlak hukumnya: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, meninggal dan masuk surga. (Maka dari itu, jangan banyak cingcong. Jalani saja apa yang sudah digariskan dari ‘sononya’, dan Anda akan bahagia. Titik.)
Please don’t get me wrong. Saya tidak bilang hidup dalam lingkaran itu salah. Saya sendiri ingin, kok, suatu saat nanti menikah, punya anak, punya cucu, dan bahagia sampai tua. Hanya saja, saya tidak bisa membayangkan menjalani siklus itu tanpa mengetahui tujuan saya berada di dunia ini.
Apa maksud Sang Pencipta membentuk tubuh ini, mengisinya dengan nafas hidup dan melahirkannya ke dunia?
Apa esensi kehidupan yang perlu saya pahami?
Apa yang harus saya kerjakan selama di dunia ini?
Saya percaya Sang Mahapintar menciptakan saya dengan tujuan tersendiri.
Saya tidak percaya Ia membiarkan saya lahir ke dunia hanya untuk menambah populasi penduduk Bumi yang sudah semrawut. Saya yakin Ia mendesain kehidupan ini untuk suatu maksud, dan bukan semata untuk menjalani siklus dalam lingkaran (yang oleh beberapa orang disebut) takdir.
Kawan saya betul. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa pernah mengetahui panggilan saya; tanpa sempat mencicipi kegairahan dari tujuan tersebut. Dan saya tidak ingin mati sebelum mengecap kebahagiaan itu. Menjalani hidup yang penuh passion itu nikmat, Jendral.
Passion yang sama, yang membuat seorang teman saya meninggalkan pekerjaan dan kehidupan mapannya di Amerika untuk kembali ke Indonesia dan memulai segala sesuatunya dari nol, demi menggenapi tujuan awal yang telah ditetapkan Sang Khalik baginya.
Passion yang sama, yang membuat seorang sobat mengambil komitmen untuk menyerahkan hidupnya ke dalam pelayanan pada usia 16 tahun, di saat anak-anak seusianya menenggelamkan diri dalam eforia masa remaja.
Passion yang sama, yang membuat seorang kawan lain membulatkan tekad untuk berkutat dengan tabung ukur dan obat-obatan di laboratorium belasan jam sehari; berjuang melawan rasa bosan dan penat demi sebuah keyakinan bahwa suatu saat industri farmasi di negeri tercinta ini akan bangkit dari keterpurukan.
Passion yang sama, yang membuat sahabat saya meninggalkan pekerjaannya yang menyenangkan demi menjadi relawan di daerah konflik Aceh dan Timor Leste; mengabaikan komentar apatis yang menyebutnya ‘aneh’ dan ‘melawan takdir’ untuk mengabdikan hidup di tempat yang tidak semua orang mau mendatangi.
Saya ingin hidup dalam passion yang sama. Saya tidak ingin mati tanpa pernah tahu bagaimana rasanya hidup dalam panggilanNya, dan menggenapi tujuan yang telah Ia tetapkan atas diri saya sejak detik pertama saya melihat dunia.
Maka saya mulai bertanya.
MendatangiNya untuk menanyakan rancanganNya atas hidup ini.
Membuka telinga dan hati untuk menerima jawabanNya, serta mempersiapkan diri untuk hidup dalam jawaban itu.
Dan Ia mulai bicara, dengan caraNya sendiri.
Menunjukkan garis besar dari tujuan penciptaan saya.
Menyingkapkan kepada saya makna sejati dari sebuah panggilan – bahwa sebuah panggilan tidak diukur dari apa yang tampak secara lahiriah, namun dari esensi tujuan itu sendiri.
Mengajarkan saya bagaimana hidup dalam panggilan itu.
Membimbing saya dalam ketidaktahuan saya.
Memperlihatkan langkah demi langkah yang harus saya tempuh.
… Menuntun saya untuk menaiki anak tangga pertama.
Gairah itu meletup dalam hati saya bagai senapan laras panjang yang ditembakkan tanpa ampun. Kebahagiaan saya nyaris tidak terbendung.
Ia benar-benar memiliki rencana khusus bagi saya. Ia menetapkannya untuk saya. Ia mempercayai saya.
Dan saya ingin Ia tahu, saya bersungguh-sungguh dengan panggilan tersebut. Saya tidak akan menyia-nyiakannya.
“Ya.” Jawab saya. “Ya, ya, ya.”
Kehidupan akan terus berlanjut, dengan lingkarannya yang tak pernah putus: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, mati dengan bahagia dan masuk surga.
Siklus yang sama akan terus berputar, saya tahu itu.
Namun, kini saya memilih untuk menjalaninya dengan cara yang berbeda.
Untuk Sahabat:
We’ve found it, Sis! Let the passion burns in our hearts forever! :))
6 comments:
ah,
Passion saya sekarang ini adalah anak anak saya. Entah kenapa, hal hal lain yang dulu penting buat saya sekarang menjadi tidak berarti dibanding soal anak.
Soal esensi kehidupan, yg harus dikerjakan di dunia, tujuan penciptaan dll ... dulu saya pernah mencari jawaban yang sama, atau kalo bahasa sononya 'the meaning of life' .. seingat saya, saya sudah menemukan jawabannya, tapi sekarang tidak ingat lagi, karena memang tidak penting (buat saya) Yang penting adalah the journey, not the destination ..
-rudy-
ishootraw.multiply.com
"Yang penting adalah the journey, not the destination .."
Untuk bisa memulai journey, bukannya kudu tau destination dulu? :) :)
itu dia masalahnya .. dulu kira begitu, eh ternyata kita mau ngga mau sudah hidup kan ? nah itu journey nya .. tujuannya kemana ? yah mungkin ada orang yang bisa pasti dia mau hidupnya seperti apa, kalo saya mah orangnya males .. bagaimana angin bertiup saja deh ..
Seriously, saya bukan orang yang tau mau jadi apa, sekarang ini, kalaupun bisa dibilang cita cita, saya cuma pengen , on my death bed, looking at my children (hopefully in my advanced age, not now..), and thinking to myself 'yeah, I've raised my children, and I raised them good' and then I die peacefully.
Kayanya pikiran saya terlalu simple yah ?
"Kayanya pikiran saya terlalu simple yah?"
Nggak juga kok.. :))
Perwujudan passion dalam setiap individu kan beda2.
hmm..saya benar2 tergelitik untuk ikut berkomentar khususnya untuk topik ini..terus terang untuk sekarang ini ada dua sisi passion yang sedang berkecamuk dalam diri saya..sisi menggebu2 sekaligus sisi passion yang sudah padam.
passion yang menggebu untuk memulai sesuatu yang baru..namun terhalang oleh restu orang2 penting dalam hidup saya..
disisi lain passion yang sudah padam menjalani apa yang saya jalani sekarang..
mungkin ada sumbangan ide atau mungkin sekedar informasi untuk saya mengenali panggilan hidup..atau mungkin bisa kah kita narik kesimpulan "where is a passion there is a calling" (ambil dari sisi positifnya ya)
Saya percaya setiap keputusan (meski yang terbaik sekalipun) pasti memiliki konsekuensi dan resiko. Tentang panggilan hidup, saya percaya selalu ada harga yang harus dibayar.
Pertanyaannya, kira-kira ‘sanggup’ nggak kita membayar harga dan memikul konsekuensi dari pilihan berdasarkan passion itu? Pertanyaan lain, sanggup nggak kita ‘tetap hidup’ seandainya passion itu tidak pernah terwujud?
:)
Post a Comment