Tuesday, June 12, 2007

Menoleh Sekilas.

Saya tidak akan melupakan malam itu. Sembilan tahun yang lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan sisa airmata yang sudah mengering di pipi.

Saya tidak lagi sanggup mengalirkan airmata. Tangis saya sudah kering. Telinga saya tersumpal oleh earphone yang terus melantunkan lagu-lagu rohani, namun saya tak lagi mendengar sepatah kata pun.

Yang ada di benak saya hanya satu: Saya ingin mati. Dengan mudah dan cepat.

Saya pecinta produk instan, mulai dari mie, junk food, makanan ringan, sampai kematian. Saya tidak ingin merasa sakit hanya untuk meninggalkan dunia ini, tapi saya betul-betul siap untuk pergi. Apapun akan saya lakukan, asal saya tidak perlu berurusan dengan segala hal yang menyakitkan. Menyakitkan tubuh, maupun jiwa saya.

Kehampaan itu menyelimuti saya, sama pekatnya seperti kegelapan yang menaungi kamar saat lampu dimatikan. Segala sesuatu seakan sirna dengan perlahan, memudar dari jarak pandang dan pendengaran saya. Semuanya menjadi kabur. Saya siap untuk pergi.

Sampai lagu itu terdengar.

Lagu dari earphone yang tadinya tidak sanggup menembus telinga saya yang tuli oleh rasa sakit. Sebaris kata yang sejak tadi berputar tanpa henti dalam walkman, namun tak mampu singgah di benak saya yang terfokus pada cara mengakhiri nyawa. Melodi sederhana yang tiba-tiba meledak bagai bom di pikiran saya, entah oleh apa, dan mengapa.

Dan bersamaan dengan tergugahnya sel-sel otak saya, kalimat berikutnya singgah di telinga saya.

Kenapa mau mengakhirinya dengan cara seperti ini?
Kenapa semua yang sudah kamu lakukan harus menjadi sia-sia?
Untuk apa jerih payahmu, jika semua berakhir sampai di sini?

Saya mengingat malam itu seperti baru kemarin.
Peristiwa sembilan tahun lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan tidak lagi sanggup mengalirkan airmata.

Semua berubah ketika suara itu bergema di benak saya. Semua berubah ketika pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengguncang kesadaran saya dengan cara yang tak terpahami. Semua berubah ketika airmata saya, yang sudah kering akibat terlalu banyak menangis, kembali mengalir. Satu-satu.

Malam itu, Ia menyelamatkan bukan hanya nyawa saya, namun juga jiwa saya.

4 comments:

moeljah said...

it is very touching when i read your dear diary.
actually boleh ga tahu ada apa sich 9 tahun yang lalu yang membuat kamu jadi teringat.. kayaknya sangat berkesan banget.
maaf kalau menanyakan hal ini.

Be Blessed
moeljah

Jenny Jusuf said...

Ada deeh :))

Yang pasti, 9 tahun lalu adalah fase di mana saya 'diproses' gila-gilaan, dan kalau menengok ke belakang dan membandingkan dengan kondisi saya sekarang, saya selalu merasa beruntung.. bersyukur karena sudah melalui 'masa2 kelam' itu dengan selamat, serta menuai pembelajaran yang sangat berharga. :)

Have a blessed day too, Moeljah.

Anonymous said...

ka jenny keren bgt lho,,,parah,,,
keren beratz,,,pokoknya T-O-P-B-G-T
smangat ka,,,gbu,,,

Anonymous said...

jadi inget juga...waktu aku kelas 2 sma, 3 tahun yang lalu...bedanya aku harus bergumul ama pemikiran mati itu selama ampir satu tahun...ya sepanjang kelas 2 sma itu, kalo 'melihat ke belakang' cuma bisa bersyukur aku ga milih untuk mati...karna hidup itu indah banget bersama Dia, cuma Tuhan satu2nya alasan aku buat ngambil keputusan untuk hidup setiap hari...just want to say to somebody out there yang punya pemikiran untuk ngakhirin hidupnya...
DON'T DO THAT
butuh kekuatan untuk bertahan hidup
tapi butuh keberanian untuk hidup
be brave
God blezz Kak Jenny