Wednesday, June 13, 2007

E-mail di Penghujung Hari

E-mail itu bertengger di baris teratas inbox, dengan subject yang -sejujurnya- tidak terlalu menarik perhatian saya (maab… saya memang termasuk spesies yang selalu mendahulukan e-mail dengan subject menarik :)).

Saya tidak langsung membacanya, melainkan memusatkan perhatian pada timbunan spam yang memadati inbox. Setelah itu saya beralih pada beberapa situs yang sedang saya buka. Setelah semuanya selesai, barulah saya kembali ke e-mail tadi.

Ia seorang Ibu dengan 3 anak. Suaminya berulangkali ditahan karena narkoba, dan belum keluar dari penjara setelah penangkapan terakhir. Orangtuanya memaksanya meninggalkan sang suami, tapi ia memilih bertahan karena tidak ingin bercerai. Tekanan semakin kuat. Sang suami hanya bisa memberi janji belaka, tanpa pernah sungguh-sungguh berubah. Hidupnya semakin sulit. Komunitas tempat ia berada tidak memberikan dukungan yang dibutuhkannya, bahkan sekedar untuk menguatkan dan menghiburnya. Si pemimpin komunitas pun bersikap cuek, acuh tak acuh. Seakan pergumulan yang dialami anggota komunitasnya itu tidak berarti dan tak layak dilirik sebelah mata.

Saya tidak mau bercerai, karena saya tahu cerai itu dilarang,” tulisnya. “Tapi saya hampir tidak tahan lagi. Saya tidak tahu apakah saya sanggup menjalani kehidupan seperti ini…”

Mata saya menelusuri baris-baris terakhir e-mail itu. Hati saya mencelos membaca rangkaian kata yang sederhana, namun jelas penuh rasa sakit itu.

Mendadak saya malu, karena selama ini saya begitu mudah terdistraksi dan patah semangat hanya karena masalah-masalah kecil, yang sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan yang dialami Ibu muda ini. Mendadak saya malu karena sering mengkhawatirkan hal-hal remeh, yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan mengingat banyaknya hal lain yang patut mendapat perhatian lebih. Mendadak saya malu karena terlalu sering memikirkan diri sendiri, sementara di luar sana banyak orang bergumul dengan keringat dan airmata demi terus menjelang hidup.

E-mail itu berakhir dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang harus saya lakukan?”

Saya termangu. Lama.

Berdoa? Jawaban standar yang klise – tanpa bermaksud mengecilkan makna doa sedikitpun.
Bersabar? Lebih basi lagi.
Berbesar hati?
Berserah diri?

… ... apa…???!!

Saya memutuskan sambungan internet dan mematikan komputer. E-mail itu masih bertengger di sana, di baris teratas inbox.

Saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.