Teman saya --seorang traveller— baru saja kembali dari misi sosial, menjadi relawan di daerah konflik.
Ia membawa 'oleh-oleh' berupa pencerahan bagi saya.
"Gue belajar banyak, terutama soal keberanian meninggalkan comfort-zone. Setelah sekian lama gue berada ditengah2 lingkungan sosial yang selalu mencap bahwa kegiatan sosial yang mblesek-mblesek dan melarat-larat itu kurang lebih konyol/merupakan aksi bunuh diri, eh gue ketemu dong dengan orang-orang yang punya pemikiran beda. Panggilan hidup mereka emang turun ke jalan dan hidup melarat-larat. Mereka harus menghadapi tantangan lingkungan sosial. Tapi berhubung itu panggilan hidup, mereka jalan terus - mengalami luka karena keputusan mereka.
Memang ada yang harus bergerak, supaya doa ga percuma. Supaya kasih itu bukan cuma di mulut."
Pernyataan itu membuat saya tergelitik. Saya meraih buku besar tebal di sudut kamar, dan mulai membukanya.
Cari, cari, cari…
Itu dia.
Pandangan saya tertumbuk pada sebaris kalimat. Saya membacanya berulang-ulang, dan tidak bisa berhenti.
Teman saya betul. Doa saja tidak cukup. Bicara saja tidak cukup.
Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6: 8)
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
3 comments:
ah saya mah terpanggil untuk tidak ikut kegiatan sosial ... :)
gud opinion..
setiap orang punya porsi masing2 untuk dijalani..kalo semua orang hanya terpanggil untuk berdoa..lalu siapa yang aktualisasi di lapangan..demikian sebaliknya kalo semua terjun ke lapangan siapa yang berdoa..intinya ora et labora aja deh..biar seimbang..bukankah keseimbangan bagian dari keselarasan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan??!! huhuhuhu..i hope so...
Amiiiin :)
Post a Comment